Wacana Mobil Baru Tanpa Pajak, Kita Belanja Terus Sampai Mati
Uzone.id - "Kita belanja terus sampai mati.." itu merupakan sepenggal lirik lagu dari band Efek Rumah Kaca yang menyoroti soal begitu konsumtifnya kaum urban di Indonesia.
Peningkatan daya beli yang dipaksa keadaan, meski sebenernya secara finansial tidak semua menyanggupinya, bahkan dengan perhitungan diatas kertas sekalipun.Itu kenapa skema pembelian kredit begitu tinggi dan gak mempan meski diserbu leh kampanye agamis 'Anti Riba Riba Club'.
BACA JUGA: Mengenal Daihatsu Taft, Rocky dan Tanto, Produk Berbasis DNGA
Sebab, secara kultural kita memang dipaksa untuk konsumtif. Ironisnya, gak hanya untuk barang-barang receh dan murah, tapi untuk benda sekelas mobil pun, kita selalu diarahkan untuk membeli dan membeli.
Isu paling hangat adalah bagaimana sejumlah pengamat sampai pelaku industri dan instansi pemerintah mewacanakan agar Indonesia menerapkan relaksasi pajak, guna mendongkrak penjualan mobil yang lesu karena pandemi.
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengusulkan relaksasi pajak untuk pembelian mobil baru sebesar nol persen, atau pemangkasan pajak kendaraan bermotor (PKB) ke Kementerian Keuangan.
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menuturkan, langkah ini ditempuh untuk mendorong pertumbuhan ekonomi sektor otomotif di masa pandemi COVID-19.
“Kami sudah mengusulkan kepada Menteri Keuangan untuk relaksasi pajak mobil baru 0 persen sampai bulan Desember 2020,” kata Agus dalam keterangan resminya.
Usulan pemangkasan pajak pembelian mobil baru ini diyakini mampu menstimulus minat beli dari konsumen.
"Bila daya beli masyarakat bisa terbantu dengan relaksasi pajak, maka kita terapkan. Kemudian pada gilirannya bisa membantu pertumbuhan industri manufaktur di bidang otomotif tersebut,” jelasnya lagi.
Saat ini, pembeli mobil baru dikenakan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 2019 sebesar 15-70 persen untuk angkutan orang.
Harga memang masih jadi sektor yang sensitif ketika mau membeli mobil di Indonesia. Bukan karena kita kebanyakan miskin, tapi memang rata-rata harga mobil dengan value yang ditawarkan makin gak masuk akal.
Fenomena ini gak hanya terjadi pada pabrikan kecil yang memang butuh volume besar untuk bisa menjual lebih murah, bahkan pabrikan besar dan mapan sekelas Toyota saja sudah kadung identik dengan harga yang mahal doang.
Kemudian, setelah masyarakat yang makin cerdas jadi menahan pembelian, diperparah dengan kondisi pandemi, industri dengan manjanya merengek ke pemerintah untuk memberikan sejumlah insentif agar merangsang pembelian.
Salah satunya ya relaksasi pajak tersebut, yang ketika diterapkan efeknya bakal seperti narkoba. Menyengsarakan banyak orang, sambil menguntungkan segelintir, khususnya dalam hal ini industri.
Bicara industri pun, kekuatannya masih belum rata, sehingga ketika relaksasi pajak tersebut diterapkan, yang meraup keuntungan besar ya hanya pabrikan yang itu-itu saja, sementara kita, makin pusing karena terjebak kredit yang entah bagaimana cara membayar tiap bulannya.
Sementara disisi lain, sangat jarang ada pemberitaan pabrikan menurunkan harga mobil--kecuali dengan gimmick diskon ala-ala supermarket, menaikkan harga dulu setinggi mungkin, baru menggelar diskon.
Barangkali, ketimbang memberikan relaksasi pajak yang bisa berimbas pada berkurangnya pendapatan negara, akan lebih baik kalau sejumlah pabrikan pun sedikit 'beramal' dengan menggelar program turun harga tanpa embel-embel insentif perpajakan.
Setidaknya, tawarkan harga mobil yang sesuai dengan valuenya dan gak melulu berpatokan pada profit yang kebanyakan masih diserap oleh prinsipalnya di luar negara sana.
Jadi, sebelum bergembira dengan insentif pajak mobil baru nol persen, mari kita sama-sama berkaca dulu di masa-masa pandemi yang penuh dengan ketidakpastian ini.
Jangan paksa dan kondisikan kami mati perlahan karena terus berbelanja..
VIDEO Uzone Talks - Kualitas Gesits Lebih Baik dari Rival?