Tantangan Menuju Tumbuh Berkelanjutan Sebagai Digital Telco
Ilustrasi: David Arrowsmith/Unsplash
Kolom oleh: VP Digital Business Strategy & Governance Telkom Indonesia, Riza A. N. Rukmana.
Uzone.id – Digitalisasi dan bisnis yang berkelanjutan (sustainable business) adalah dua kunci bagi perusahaan agar bisa bertahan dari masa ke masa. Di tengah kebutuhan zaman yang serba cepat, perusahaan yang tidak mengadopsi digitalisasi akan ketinggalan. Demikian juga perusahaan yang tidak mengedepankan bisnis yang berkelanjutan.Hal ini berangkat dari kebutuhan konsumen atau user yang semakin pintar dan meminta lebih. Konsumen saat ini telah bertransformasi menjadi pengguna digital (digital user) yang menuntut segala sesuatu berjalan lebih cepat, mudah, dan nyaman.
Mulai dari penggunaan fasilitas digital saat berbelanja hingga membayar tagihan, semua harus memenuhi unsur tersebut atau mereka akan mencari pilihan lain yang bisa memenuhi kebutuhannya.
Konsumen saat ini juga lebih kritis dalam memilih perusahaan untuk bertransaksi digital. Terlepas dari teknologi yang mumpuni, perusahaan tersebut juga harus memiliki reputasi dan etos kerja yang baik, visi serta misi yang jelas. Perusahaan bakal memiliki nilai plus bila produk serta bisnisnya berkelanjutan atau sustainable.
Baca juga: 6 Siasat UMKM Go Digital dari Telkom dan BCG
Laporan e-Conomy SEA 2021 mencatat, nilai ekonomi digital Indonesia pada 2021 mencapai USD70 miliar, atau naik 49 persen dibandingkan tahun 2020 yang hanya senilai USD47 miliar.
Tercatat ada 21 juta konsumen digital baru selama pandemi 2020 dan paruh pertama 2021, di mana sekitar 72 persen dari konsumen baru ini berasal dari area non-metropolitan. Hal ini menunjukkan peningkatan penetrasi digital di dalam negeri yang mulai merata.
Para konsumen baru ini diperkirakan akan tetap menggunakan layanan digital dengan jumlah responden 99 persen. Laporan ini juga mencatat bahwa pengguna yang telah menjadi konsumen sebelum pandemi menggunakan layanan digital rata-rata 3,6 kali lebih banyak sejak terjadinya pandemi.
Fenomena ini mendorong Telkom Indonesia untuk melanjutkan transformasi menjadi perusahaan telekomunikasi digital (digital telco company) pilihan utama, dari yang sebelumnya perusahaan telekomunikasi berbasis infrastruktur. Tujuannya agar tidak tertinggal dari perkembangan zaman, serta misi mengakselerasi digitalisasi Tanah Air.
Seperti kita ketahui bahwa era digitalisasi telah memicu lahirnya ribuan perusahaan digital rintisan (digital startup) baru. Ada yang berkembang menjadi raksasa—bahkan unicorn—namun banyak juga yang harus berguguran. Demi mengejar pertumbuhan, banyak digital company yang kerap melupakan pentingnya fundamental dalam perusahaan: keberlanjutan.
Mereka lebih mengutamakan pertumbuhan yang eksponensial demi mengejar valuasi. Aksi bakar uang menjadi salah satu jalan. Sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Telkom tidak boleh terjebak dalam fenomena tersebut.
Transformasi digital telco
Kini, Telkom bertransformasi menjadi digital telco yang mempunyai visi berkelanjutan dalam seluruh aspek bisnisnya. Telkom beralih dari operator telekomunikasi ke penyediaan layanan serba digital, yang membuat konsumen dapat merasakan pengalaman digital (digital experience) ketika sedang menggunakan layanan Telkom.
Digital telco juga membantu memudahkan proses internal perusahaan terutama dalam hal digitalisasi, mengingat semua hal dilakukan melalui sistem digital.
Ada berbagai keuntungan dengan menjadi perusahaan digital telco, di antaranya mengurangi biaya operasional/cost serta meningkatkan kepuasan pelanggan melalui pengalaman digital, yang pada akhirnya berujung kepada peningkatan kinerja perusahaan.
Fokus digital telco adalah menggunakan teknologi untuk membuat produk baru, meningkatkan efektivitas operasional dan pengalaman pelanggan, serta membuat proses kinerja perusahaan menjadi lebih efisien.
Berbeda dengan digital company yang memfokuskan penggunaan teknologi sebagai disrupsi, menciptakan pasar baru atau mengganggu pasar yang sudah ada.
Meski mengandalkan model bisnis yang konvensional, digital telco menjadikan inovasi sebagai bagian dari operasional serta mempertahankan agar bisnis tetap relevan. Begitu pula dari objektif, tujuan, visi dan misi dari digital telco: pendapatan berbasis laba bersih. Di sini, Telkom bukan hanya mengejar pertumbuhan melainkan juga keberlanjutan.
Sedikit berbeda dengan digital company yang lebih mengejar pertumbuhan dan penjualan yang bertujuan mengejar prospek monetisasi di masa yang akan datang, sehingga hal tersebut dapat meningkatkan valuasi. Sedangkan laba bersih atau bottom line biasanya belum menjadi prioritas di awal masa pertumbuhan.
Kinerja menjadi hal krusial bagi Telkom. Dengan prinsip kehati-hatian, pendapatan, dan laba bersih, tidak heran jika Telkom—sebagai digital telco—dapat mempertahankan kinerjanya secara positif dari masa ke masa. Pada tahun fiskal 2021 misalnya, Telkom berhasil mencatatkan pendapatan Rp143,21 triliun (tumbuh 4,9 persen, YoY) dengan laba bersih Rp24,75 triliun (tumbuh 19 persen, YoY).
Hal ini sedikit berbeda dengan digital company. Dalam rangka mengejar pertumbuhan dan akuisisi pengguna, transaksi, atau ekspansi; banyak pemain yang tidak ragu 'membakar uang'. Indikator yang mereka gunakan adalah pendapatan, volume, monthly active users (MAU), gross merchandise value (GMV), gross transaction value (GTV), dan lainnya.
Baca juga: Ekonomi Digital Indonesia di 2030 Capai Rp4.680 Triliun
Cara ini kerap berakibat digital company mengalami kerugian dan membuat arus kas mereka negatif—bahkan terjadi pada unicorn sekalipun. Ketika iklim bisnis tengah bergejolak seperti sekarang ini, tidak jarang para digital company itu harus melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK), bahkan gulung tikar.
Begitu pula dalam hal pembiayaan. Sebagai digital telco sekaligus perusahaan yang sahamnya terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI), anggaran belanja modal dan biaya operasional Telkom berasal dari aktivitas keuangan yang tersedia di pasar saham, modal perusahaan, atau utang.
Di sini, Telkom dituntut menjalankan bisnis secara berkelanjutan sekaligus menjunjung tinggi Good Corporate Governance (GCG) karena ada kepercayaan dan tanggung jawab yang harus terus dijaga—sampai kapan pun.
Hal itu berbeda dengan digital company yang mengandalkan skema crowdfunding atau investasi dari perusahaan modal ventura. Di sini, para pemain menjual ide serta peluang profitabilitas di masa depan. Salah satu game-nya adalah keluar (exit) dari bisnisnya setelah memperoleh berbagai pendanaan.
Telkom telah memulai langkah transformasi sebagai digital telco dengan membentuk brand Leap-Telkom Digital pada awal 2022. Leap merupakan umbrella brand beragam produk layanan digital Telkom untuk mengakselerasi digitalisasi masyarakat Indonesia.
Sesuai dengan visi digital telco untuk menjadi bisnis yang sustainable, inovasi yang ditawarkan Leap berkisar pada produk dan layanan digital yang memberikan solusi dan produk transformatif dengan mendukung peningkatan sosial dan ekonomi Indonesia.
Contohnya aplikasi PaDi UMKM, platform yang dibentuk untuk mempertemukan BUMN dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Di awal pendiriannya, PaDi UMKM diciptakan untuk mendorong transaksi belanja BUMN pada UMKM, yang nantinya dapat dikembangkan untuk market yang lebih luas.
Selain itu, ada aplikasi MySooltan yang menyediakan ekosistem digital untuk UMKM mulai dari layanan internet, komunikasi, aplikasi digital bisnis hingga pinjaman modal.
Ada juga Agree yang bergerak dalam bidang digitalisasi pertanian, Logee Trans yang mempertemukan supply-demand antara pemilik barang dan pemilik truk dalam digitalisasi pengiriman muatan first mile, hingga Pijar yang merupakan platform pendidikan sistem pembelajaran terpadu.
Dengan misi melakukan digitalisasi melalui berbagai inovasi dan akselerasi digital, Leap akan mengakselerasi ekosistem digital Indonesia melalui kolaborasi dengan pemerintah, local champion, dan perusahaan raksasa teknologi global. Hal ini selaras dengan strategi, visi, dan misi Telkom Indonesia sebagai digital telco company: digitalisasi dan bisnis yang berkelanjutan (sustainable business).