Tanah Abang Semrawut, Salah Siapa?
Para pedagang kaki lima (PKL) selalu menjadi objek penderita ketika Tanah Abang akan ditertibkan pemerintah. Mereka selalu disebut sebagai biang kesemrawutan kawasan tempat grosir tersohor tersebut. Solusi yang selalu diambil gubernur DKI Jakarta juga tidak pernah lepas dari kata menggusur dan mengusir para PKL.
Namun, ada yang beda katika Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno memantau kawasan Tanah Abang. Menurut dia, PKL bukan satu-satunya biang keruwetan Tanah Abang.
"Satu, karena pembangunan jalan, nomor dua tumpahnya pejalan kaki yang keluar dari Stasiun Tanah Abang dan banyak angkot (angkutan kota) yang parkir liar atau ngetem," kata Sandiaga.
Ahad (12/11), sejumlah angkot terlihat lumayan lama berhenti untuk menanti penumpang. Selain itu, bajaj-bajaj berderet di tepi jalan, juga menjadi alasan kendaraan yang lewat harus berjalan pelan-pelan sehingga menyebabkan kemacetan.
Di beberapa sisi jalan pun terlihat ojek daring maupun konvensional berhenti untuk menunggu penumpang. Menurut salah satu driver ojek konvensional, Edi, mereka memang sudah memiliki wilayah mangkal sendiri di dekat Stasiun Tanah Abang.
"Dari dulu juga biasanya mangkal di sini (Stasiun Tanah Abang). Kalau misalnya jalanan sedang macet, pagi misalnya, ya motornya dinaikkan dulu ke trotoar," kata lelaki yang setiap hari mencari penumpang di Jalan Jati Baru itu.
Namun, parkir liar ataupun kendaraan umum yang mencari penumpang sering kali ditertibkan. Biasanya, Satpol PP akan menyuruh para sopir angkot untuk segera pergi. Karena itu, di saat ada razia, tidak ada angkot yang berani terlalu lama berhenti.
Kebanyakan hanya berhenti sebentar, lalu maju makin ke depan, kemudian berhenti kembali sebentar, lalu kembali melanjutkan perjalanannya. Namun, karena jumlahnya yang banyak, macet tetap tidak bisa dihindari.
Kepadatan makin menjadi ketika penumpang kereta rel listrik tumpah ruah dari Stasiun Tanah Abang. Stasiun Tanah Abang memang padat, apalagi akhir pekan. Belum lagi ada beberapa kereta yang transit di stasiun tersebut.
"Memang padat banget sih, mungkin ada yang belanja atau memang tujuannya ke sini. Jadi, setiap hari padat," kata Ima, salah seorang pengguna KRL yang turun di Stasiun Tanah Abang.
Para pejalan kaki sering terlihat menyeberang sembarangan. Tidak hanya di satu titik, tetapi hampir di sepanjang Jalan Jati Baru. Hal itu membuat kendaraan yang lewat berhenti.
"Kalau misalnya dikasih JPO juga mungkin ada yang malas naik jadi ya sudah nyeberang saja di bawah," kata Anisa, salah satu pejalan kaki lainnya.
Beberapa bagian jalan memang diberi pembatas yang cukup tinggi sehingga sulit dilalui penyeberang. Namun, pembatas tinggi tersebut tidak dibuat di sepanjang jalan sehingga masih ada tempat yang sering digunakan pejalan kaki untuk menyeberang.
Beberapa pejalan kaki mengaku kesulitan berjalan di trotar karena banyaknya PKL. Itu menjadi alasan mereka menggunakan badan jalan. "Iya kadang susah juga sih jalannya. Banyak PKL juga orang-orang beli dagangannya kan nutupin jalan juga. Tapi di sini kan memang udah terkenal jadi tempat belanja," kata Ima.
Bagi PKL sendiri, kucing-kucingan dengan petugas seperti kegiatannya setiap hari. Setiap waktu-waktu tertentu, mereka harus siap-siap ditertibkan oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) yang bertugas.
Tentu, penertiban tersebut tidak diumumkan terlebih dahulu. Para PKL hanya membaca gerak-gerik Satpol PP, apakah kira-kira Pol PP hanya lewat atau akan menertibkan mereka.
Setelah ditertibkan, para PKL kembali lagi di lokasi tempat mereka berjualan. Memang, penertiban tersebut terkesan sia-sia karena para PKL tetap kembali berjualan beberapa menit setelah ditertibkan. Para Satpol PP pun hanya menerima perintah dari atasan, kapan dan bagaimana harus menertibkan PKL.
Para pedagang pun mengaku bahwa berjualan di trotoar adalah hal yang salah. Namun, mereka tidak punya pilihan. "Ya sebenarnya memang salah, ini trotoar buat orang jalan. Tapi mau gimana lagi, kami enggak punya tempat," kata Eneng, Rabu (8/11).
Pedagang minuman ini juga bercerita ia sempat berjualan di rumahnya. Namun, tidak ada yang membeli. "Kalau jualan di rumah paling lakunya seminggu pertama, habis itu langsung sepi lagi," katanya.
n inas widyanuratikah
ed: ilham tirta