Tahun Pemilu adalah Merdeka dari Kenaikan Cukai Rokok
“Rokok menempati peringkat dua konsumsi rumah tangga miskin. Keluarga miskin lebih memilih belanja rokok daripada belanja makanan yang bergizi,” kata Presiden Joko Widodo (Jokowi) dikutip dari Antara.
Jokowi tahu persis belanja rokok warga Indonesia saat ini tidak mudah terkendali. Dana yang dihabiskan keluarga miskin untuk rokok 3,2 kali lebih besar dari belanja telur dan susu, dan 4,2 kali lebih besar dari belanja daging.
Gara-gara itu juga, Jokowi dalam beberapa kesempatan, berulangkali mengingatkan masyarakat yang menerima bantuan sosial agar tidak membelanjakan uang bantuan tersebut untuk rokok.
Dalam agenda Nawacita, pengendalian rokok demi meningkatkan kualitas hidup masyarakat menjadi target yang dikejar Jokowi. Salah satu cara yang diambil dalam mengendalikan rokok adalah dengan menaikkan tarif cukai rokok.
Sejak Jokowi dilantik sebagai presiden pada 20 Oktober 2014, tarif cukai rokok naik setiap tahun. Pada 2015, tarif cukai rata-rata naik 8,7 persen. Tahun berikutnya, tarif naik 11,19 persen, pada 2017 naik 10,54 persen, dan 2018 naik 10,04 persen.
Namun, konsistensi kenaikan tarif cukai rokok setiap tahun bakal berhenti sementara di tahun pemilu 2019. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan rencana menaikkan tarif cukai rokok pada 2019 batal alias tidak naik.
“Kami memutuskan tidak ada perubahan tingkat cukai yang ada sampai dengan 2018 ini,” tuturnya usai rapat kabinet di Istana Presiden Bogor pada Jumat (02/11/2018) sebagaimana dikutip dari Kompas.
Mantan Direktur Bank Dunia ini tidak membeberkan alasan tarif cukai rokok tidak dinaikkan. Yang pasti, keputusan itu tidak sejalan dengan agenda Nawacita dalam mengendalikan konsumsi rokok. Pada Nawacita ke-5 butir 21 disebutkan tarif cukai rokok dijanjikan naik 200 persen, mulai 2015. Hingga 2018, tarif cukai rokok baru naik sekitar 47 persen dari tarif cukai rokok pada posisi 2014.
Mendulang Suara Dari Petani Tembakau
Keputusan pemerintah untuk tidak menaikkan tarif cukai rokok, apalagi tidak menjelaskan alasannya, memunculkan spekulasi bahwa keputusan itu diambil sebagai upaya mengamankan suara menjelang Pilpres 2019.
“Jelang pemilu, incumbent pastinya tidak akan mengeluarkan kebijakan yang bisa memicu kekecewaan dari masyarakat. Tarif cukai rokok ini buktinya,” kata Enny Sri Hartati, Direktur INDEF kepada Tirto.
Rokok merupakan komoditas yang cukup sensitif di Indonesia. Hal itu dikarenakan banyak kepentingan yang terlibat di dalam industri itu, mulai dari petani, buruh, pemodal, hingga pemerintah.
Menurut data Kemenperin 2016, jumlah pekerja yang terlibat langsung dalam industri rokok, mencapai lebih dari enam juta orang, terdiri dari petani tembakau dan cengkeh 3,5 juta orang, pedagang rokok 2 juta orang, dan buruh pabrik rokok 600 ribu orang. Jumlah pekerja itu jelas wajib diperhatikan petahana menjelang Pilpres 2019 mendatang.
Keputusan pemerintah tidak menaikkan tarif cukai rokok dijelaskan oleh Mukhamad Misbakhun, selaku Jubir Tim Kampanye Jokowi-Ma'ruf Amin. Menurutnya, keputusan itu bukti bahwa Jokowi berpihak terhadap petani tembakau.
“Sekali lagi, tidak naiknya cukai rokok menunjukkan sikap Presiden Jokowi yang aspiratif dan berpihak terhadap petani tembakau dan stakeholder IHT (industri hasil tembakau) secara nyata,” tutur Misbakhun, yang juga merupakan Anggota Komisi XI DPR dikutip dari Antara.
Klaim Misbakhun ini tentunya bisa menjadi bumerang lantaran sejak 2015 hingga sekarang, tarif cukai rokok selalu naik setiap tahun. Rata-rata kenaikannya 10,11 persen per tahun, atau lebih tinggi ketimbang rata-rata kenaikan saat Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono pada periode kedua sebesar 8,14 persen.
Namun, adanya rencana pemerintah tak menaikkan cukai rokok pada 2019, menambah daftar panjang tahun Pemilu "bebas" dari kenaikan cukai rokok. Pada 2004 cukai rokok pun tak naik, sedangkan 2009 cukai rokok rata-rata hanya naik 7 persen atau cukup rendah dari biasanya, dan 2014 cukai rokok pun tak naik.
Cukai Rokok Tak Naik, Nasib BPJS Kesehatan?
Cukai rokok yang tak naiknya membuat upaya pemerintah menambal defisit BPJS Kesehatan dengan cukai rokok menjadi tidak signifikan. Sebab, defisit BPJS Kesehatan pada 2019 diperkirakan semakin besar. Jokowi sempat menjanjikan 50 persen penerimaan dari cukai rokok harus digunakan untuk hal-hal yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan.
"BPJS Kesehatan sendiri kemarin mengalami defisit yang harus ditutup. Apapun yang namanya pelayanan kesehatan masyarakat itu harus dilakukan dengan sebaik-baiknya sehingga defisit itu sebagian ditutup dari hasil cukai rokok," kata Jokowi.
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar punya perspektif lain dari kondisi terkini terutama dari sudut pandang pekerja, korelasi tak naiknya cukai rokok dan beban BPJS Kesehatan. Ia mengatakan kenaikan UMP sebesar 8,03 persen akan berimbas terhadap bertambahnya jumlah pekerja yang mendapatkan rawat inap kelas I dari sebelumnya kelas II.
“Apabila UMP bagi pekerja di kota industri seperti Karawang dan Bekasi naik 8,03 persen, maka UMP pekerja di sana menjadi di atas Rp4 juta, dari sebelumnya di bawah Rp4 juta, maka dipastikan seluruh pekerja disana naik ke kelas I,” tuturnya.
Berdasarkan Pasal 50 huruf b ayat (4) Perpres No. 82/2018 tentang Jaminan Kesehatan, disebutkan Peserta Pekerja Penerima Upah (PPU) Swasta yang memiliki upah di bawah Rp4 juta, mendapatkan perawatan rawat inap kelas II. Sementara pada pasal 50 huruf c ayat (9) disebutkan Peserta PPU Swasta yang memiliki upah di atas Rp4 juta, mendapatkan perawatan rawat inap kelas I.
Kondisi defisit BPJS Kesehatan pada 2019 ditaksir bisa semakin membengkak karena kenaikan UMP ini. Ini karena biaya perawatan kelas I dan kelas II memang berbeda. RS Jakarta misalnya, biaya rawat inap kelas I dipatok sebesar Rp785.000, per hari dan kelas II sebesar Rp650.000, per hari. Selisihnya bisa mencapai Rp135.000,.
Di lain pihak, kenaikan UMP tidak begitu signifikan meningkatkan iuran PPU Swasta. Misal, UMP pekerja di Bekasi pada 2018 sebesar Rp3,91 juta. Dengan upah tersebut, iuran BPJS Kesehatan menjadi Rp195.000, per bulan (5 persen x upah bulanan)
Apabila UMP 2019 di Bekasi naik 8,03 persen, maka UMP pekerja di Bekasi menjadi Rp4,22 juta. Dengan demikian, iuran BPJS Kesehatan bagi pekerja di Bekasi menjadi Rp211.000, per bulan, atau hanya naik Rp16.000, per bulan.
“Biaya JKN akan lebih besar pada 2019, dan membuat risiko defisit kian lebar. Kalau tarif cukai rokok tidak naik, maka porsi sumbangannya ke defisit BPJS Kesehatan juga semakin kecil,” ujar Timboel.
Sumbangan pajak rokok terhadap defisit BPJS Kesehatan ditaksir sekitar Rp5 triliun pada tahun ini, atau 40 persen dari defisit BPJS Kesehatan yang diperkirakan mencapai Rp12,4 triliun.
Jika tarif cukai rokok tidak naik dan defisit BPJS Kesehatan tetap membengkak, maka besar kemungkinan porsi sumbangan cukai rokok terhadap defisit akan lebih rendah dari 40 persen. Artinya, pemerintah harus putar otak lagi untuk menambal sisa defisit di tahun politik.
Baca juga artikel terkait KENAIKAN CUKAI ROKOK atau tulisan menarik lainnya Ringkang Gumiwang