Selain Suramnya Perang Dagang, Dunia Juga Punya Catatan Gemilang
Tahun 2018 pantas disebut periode buruk bagi perekonomian dan bisnis global, utamanya disebabkan oleh perang dagang antara Cina dan Amerika Serikat yang menyeret jatuh sejumlah indikator ekonomi di berbagai negara karena memantik ketidakpastian. Ekonomi global pada 2018 diprediksi oleh Bank Dunia hanya tumbuh stagnan 3,1 persen.
Namun, jika mengacu pada sejumlah parameter, dunia secara umum sesungguhnya masih bergerak ke arah yang lebih baik, terutama soal kemiskinan beberapa tahun terakhir.
AS dan Cina memang telah bersepakat melakukan "gencatan senjata" perang dagang selama 90 hari pada 2018 lalu. Sayangnya, hal tersebut masih belum dapat mengerem laju buruk perekonomian Cina hingga saat ini. Situasi ini kemudian berdampak pada perekonomian banyak negara di Asia, utamanya karena Cina menjadi tujuan ekspor dari negara-negara tersebut.
Korea Selatan, misalnya, akan mengalami penurunan ekspor sebesar 28 miliar dolar AS jika ekspor Cina ke AS turun sebesar 10 persen berdasarkan laporan dari Morgan Stanley. South China Morning Post (SCMP) melaporkan, ekspor Korea ke Cina telah turun 13,9 persen year-on-year (y-o-y). Ekspor semikonduktor Korea yang merupakan salah satu barang ekspor terpenting dan paling berharga dari negara tersebut ke Cina turun 8,3 persen.
Pertumbuhan ekonomi Singapura pada kuartal IV-2018 hanya merangkak sebesar 1,6 persen, meleset cukup jauh dari prediksi sejumlah analis ekonomi yakni 3,5 persen.
“Sayangnya tidak banyak ruang untuk optimistis pada 2019. Saya dapat melihat adanya penurunan pada [perekonomian] AS, zona Euro datar, dan masih banyak ketidakpastian di Asia yang berhubungan dengan belahan dunia lainnya,” jelas kepala ekonom Asian Development Bank, Jayant Menon, masih dikutip dari SCMP.
Alex Holmes, ekonom spesialis Asia dari firma riset Capital Economics, memperkirakan adanya perlambatan ekonomi pada negara-negara berkembang di Asia. Faktor utama yang mengikat buruknya performa negara-negara tersebut adalah hubungan ekonomi dan perdagangan mereka dengan Cina.
Situasi itu jelas menjadi pengingat pada 2019 mungkin masih akan menjadi tahun yang sulit bagi perekonomian global. Namun, tidak semuanya berjalan buruk. Dalam senyap, sejumlah segi kehidupan dunia sesungguhnya masih bergerak ke arah positif, salah satunya adalah makin terkikisnya kemiskinan ekstrem di berbagai belahan dunia.
Positif atau Negatif?
Kepala Komentator Ekonomi The Wall Street Journal, Greg Ip, dalam esainya mengatakan sesungguhnya ada banyak hal positif yang dapat diapresiasi di dunia seiring dengan berlalunya tahun 2018. Menurutnya, salah satu segi yang kerap kali luput adalah semakin rendahnya tingkat kemiskinan akut di dunia. Hal tersebut, lanjut Greg, tidak menjadi berita utama karena sifatnya yang “bertahap, tanpa henti dan tidak mengejutkan.”
“Inilah mengapa hal-hal tersebut layak untuk disorot. Masalah-masalah yang dihadapi oleh dunia lebih kecil daripada yang sudah diatasi dan dapat dipecahkan dengan cara yang sama: dengan tidak bertaruh pada keajaiban namun dengan sabar menerapkan pengetahuan dan alat-alat yang sudah kita miliki,” sebutnya.
Dalam hal kemiskinan ekstrem, data teranyar dari Bank Dunia periode 1990-2015 menunjukkan perubahan yang cukup positif tren penurunan jumlah orang miskin. Namun, masih ada banyak hal yang perlu diupayakan agar manusia dapat mengenyahkan kemiskinan pada 2030.
“Selama 25 tahun terakhir, lebih dari satu miliar orang telah keluar dari kemiskinan ekstrem, dan tingkat kemiskinan global sekarang lebih rendah daripada yang pernah tercatat dalam sejarah. Ini adalah salah satu pencapaian terbesar manusia di zaman kita,” kata Presiden Grup Bank Dunia Jim Yong Kim dalam keterangan resminya pada September 2018.
Persentase orang yang berada pada kemiskinan ekstrem secara global memang turun pada tingkat terendah yang baru yakni 10 persen dari populasi penduduk dunia pada 2015. Ini merupakan data terakhir yang tersedia hingga saat ini. Posisi tersebut turun dari tingkat 11 persen penduduk dunia pada 2013.
Orang yang hidup dengan biaya kurang dari 1,9 dolar AS per hari (berdasarkan paritas daya beli) turun sebesar 68 juta orang menjadi 736 juta orang pada periode 2013-2015.
Jika ditilik lebih jauh ke belakang, apa yang dicapai pada 2015 jelas merupakan kemajuan yang cukup berarti. Pada tahun 2005, misalnya, jumlah orang yang masih berada pada kemiskinan berkisar di angka 1,3 miliar orang dengan persentase sebesar 20,8 persen. Melihat tren ini, maka dapat dikatakan dunia secara perlahan mengalami kemajuan dalam hal pengenyahan kemiskinan.
Kendati demikian, Jim Yong mengatakan bahwa dunia masih membutuhkan “lebih banyak investasi terutama di bidang sumber daya manusia untuk mempromosikan pertumbuhan inklusif yang dibutuhkan untuk mencapai masyarakat miskin yang masih ada” jika ingin mengenyahkan kemiskinan pada 2030.
Laporan World Bank tersebut memang menunjukkan bahwa dunia secara keseluruhan masih belum pada jalur yang tepat untuk mencapai target pengurangan kemiskinan ekstrem di bawah 3 persen dari populasi penduduk dunia. Ini dapat dilihat dari penurunan pengurangan kemiskinan ekstrem yang melambat pada periode 2013-2015 yang hanya 1 persen, terkecil dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Senada, Greg Ip dari The Wall Street Journal mengatakan kemiskinan dapat diatasi memang karena adanya investasi di bidang sumber daya manusia dan semakin terbukanya pasar dan perdagangan yang berimbas pada meningkatnya pendapatan.
Indikator Lain yang Menyusul
Seiring dengan tingkat kemiskinan yang terus menurun, sejumlah parameter yang lainnya pun juga ikut mengalami pergerakan ke arah positif, termasuk kelaparan global dan tingkat harapan hidup.
Berdasarkan laporan dari Global Hunger Index, indeks kelaparan global pada 2018 berada pada 20,9 masuk pada kategori serius dari lima kategori yang ada (sangat mengkhawatirkan, mengkhawatirkan, serius, moderat dan rendah). Angka ini turun dari angka 29,2 pada tahun 2000.
Yang perlu dicatat adalah penurunan tersebut diikuti oleh perbaikan di empat indikator dalam indeks tersebut: Prevalensi kurang gizi, tingkat anak stunting (kerdil), anak dengan berat dan tinggi badan rendah (wasting), dan kematian anak.
Indeks ini memang tidak mencakup semua negara karena hanya mendata 119 negara. Namun dari data yang ada, populasi yang masih mengalami kekurangan gizi mencapai 12,3 persen pada periode 2015-2017, turun 17,6 persen dari periode 1999-2001.
Begitu pula tingkat stunting anak. Sebanyak 27,9 persen anak di bawah lima tahun mengalami stunting pada periode 2013-2017 turun dari 37,1 persen pada periode 1998-2002. Sebanyak 9,3 persen anak di bawah lima tahun mengalami wasting pada 2013-2017, turun dari 9,7 persen pada periode 1998-2002. Jumlah kematian anak juga turun menjadi 4,2 persen pada 2016 dari 8,1 persen pada 2000.
Tingkat harapan hidup juga membaik. Data World Health Organization (WHO) menunjukkan tren peningkatan positif sejak tahun 2000. Jika pada 2000 usia harapan hidup ketika kelahiran mencapai 66,5 tahun, maka pada 2016 mencapai angka 72 tahun.
Menurut laporan PBB, Afrika menjadi benua dengan pertumbuhan usia harapan hidup tertinggi pada kelahiran dengan angka 9,7 tahun antara 1990-2015. Asia menyusul di belakangnya dengan peningkatan sebesar 8 tahun antara 1990-2015.
Jumlah pekerja anak juga terus menurun. Laporan International Labour Organization (ILO) mencatat pada tahun 2016, pekerja anak mencapai 151 juta anak turun dari 245 juta anak di tahun 2000. Sementara itu, jumlah anak yang terlibat pekerjaan berbahaya mencapai 75 juta di 2016, turun dari 170 juta di tahun 2000.
Semua kemajuan positif di atas tentunya masih memiliki tantangan masing-masing yang harus dihadapi, termasuk tidak meratanya kemajuan yang dirasakan di tiap-tiap negara. Seperti dilaporkan oleh jurnalis Dylan Matthews dari Vox, dunia juga masih harus menghadapi ancaman perubahan iklim.
Baca juga artikel terkait PERANG DAGANG atau tulisan menarik lainnya Ign. L. Adhi Bhaskara