Poco-poco mengatur taksi online
-
Mengutip dokumen putusan dari situs resmi Mahkamah Agung yang dikeluarkan 12 September 2018, dinyatakan PM 108 bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, karena merupakan pemuatan ulang materi muatan norma yang telah dibatalkan oleh Putusan Nomor 37 P/ HUM/2017, tanggal 20 Juni 2017, sehingga harus dibatalkan.
Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor PM 108 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang Dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek, bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yaitu Pasal 4 dan Pasal 5 Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, sehingga harus dibatalkan.
Dalam Putusan MA terhadap PM 108 ada 23 pasal yang dicabut dan ada beberapa pula yang diterima.
Beberapa hal yang dicabut antara lain mengenai argometer, stiker, dokumen perjalanan yang sah, persyaratan teknis perizinan, STNK atas nama badan hukum, badan hukum koperasi, tempat menyimpan kendaraan, SRUT dan buku uji kendaraan, larangan perusahaan aplikasi, juga sanksi tanda khusus.
Keluarnya putusan ini menjadikan penyelenggaraan taksi online atau ride hailing dengan moda roda empat tak memiliki payung hukum.
Tanpa payung hukum, status taksi online akan dianggap sama dengan angkutan omprengan pelat hitam. Artinya, taksi daring bisa dirazia karena melanggar Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ).
Ini adalah kekalahan kedua kalinya bagi Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi dalam mengeluarkan regulasi bagi taksi online.
Sebelumnya ada Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 32 Tahun 2016 tentang Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek sudah dikeluarkan, lalu PM 26 Tahun 2017. Semuanya berakhir dengan "Kekalahan" dari pihak Menhub dan tak pernah ada penegakkan penuh dari regulasi. (Baca: Aturan Taksi Online)
Siapkan Pengganti
Kementrian Perhubungan mengaku tengah menyiapkan draft pengganti Peraturan Menteri (PM) Nomor 108 tahun 2017. (Baca: PM 108)
Peraturan tersebut mengatur tentang penyelenggaraan Angkutan Orang Dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek termasuk didalamnya mengenai angkutan online.
Rencananya, PM 108 akan dipecah menjadi dua peraturan tujuannya untuk memisahkan peraturan untuk angkutan sewa khusus dan angkutan online.
Perubahan PM 108 tersebut juga untuk menjawab keluhan para asosiasi pengemudi taksi online yang menyatakan kurang setuju terhadap perusahaan aplikasi yang berubah menjadi perusahaan transportasi, serta mengkritisi hubungan kerja aplikator dan pengemudi.
Sembari regulasi direvisi, Kemenhub memastikan PM 108 masih berlaku. Sementara itu digulirkan juga ide agar Telkom Indonesia menjadi aplikator untuk bisnis ride hailing.
Ide ini sepertinya ingin meniru Korea Selatan dimana pemerintah menjadi pemilik platform ride-hailing. Pemilihan Telkom rasanya karena operator ini adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Melihat cara pemerintah dalam mengatur ride-hailing ini sejak 2015, sadar atau tidak rasanya sudah terjebak dalam tarian "Poco-poco" yang dominan dengan gerakan maju-mundur atau bergerak kesamping kiri-kanan, tanpa ada hasil yang memuaskan bagi pelaku usaha baik pengusung transportasi tradisional atau berbasis online. (Baca: Rencana revisi PM 108)
Kesetaraan dalam berusaha yang dijanjikan dengan adanya sebuah regulasi tak pernah tercapai, sementara dengan terus menari "Poco-poco" tanpa disadari sudah ada pihak-pihak yang bertumbangan karena tak ada perlindungan hukum yang jelas.
Kalau sudah begini, rasanya wajar pihak yang "kalah" atau "dikalahkan" bertanya-tanya negara ada dimana?
@IndoTelko