Peran Penting Transformasi Agile di Organisasi
Ilustrasi (Foto: Leon / Unsplash)
Kolom oleh Afianto Mukti H, Tribe Leader di Telkom Indonesia
Uzone.id - Transformasi Agile (dalam banyak kasus juga disamakan dengan Transformasi Digital) dibutuhkan karena Pasar, Kompetisi, Supplier berubah dengan cepat atau tiba tiba ada produk alternatif yang menggantikan produk kita (subtitusi).Sehingga, dibutuhkan organisasi yang mampu menjawab tantangan tantangan perubahan di atas. Dalam definisi yang lebih umum adalah: sebuah organisasi yang bereaksi lebih cepat dan lebih cepat terhadap perubahan di pasar dan lingkungannya.
Arti dari transformasi itu sendiri adalah berubah dari kondisi awal ke kondisi akhir. Artinya, kalau kita ingin berubah harus tahu tujuan atau bentuk akhir perubahan yang kita inginkan.
Bentuk akhir bisa berupa bentuk organisasinya sendiri dan budaya dari para pekerja yang menjalankan organisasi tersebut.
BACA JUGA: Menakar Potensi Metaverse di Indonesia
Transformasi Agile bagi sebagian besar karyawan atau manager menengah bahkan level top BoD hanya lah sekedar bagaimana perangkat kerja dan juga gaya pekerjanya menjadi ke-kini-an, mulai dengan merombak suasana kantor menjadi warna warni, sering foto selfie atau mengkomputerisasi pekerjaan yang selama ini dilakukan.
Apa yang diuraikan sebelumnya memang tidak salah , akan tetapi belum menyentuh esensi dari Transformasi Agile itu sendiri.
Yuk, kita mulai dengan model Golden Cyrcle “ WHY-WHAT-HOW”
Bentuk organisasi Agile adalah organisasi yang kecil, lincah akan tetapi dapat menjawab tantangan kebutuhan user-nya.
Ini artinya organisasi agile harus focus akan tetapi punya team yang lintas kompetensi sehingga kebutuhan user dapat disokusikan oleh team itu sendiri.
Organisasi Agile denga team kecil ini lebih sering disebut dengan Squad. Hal itu karena biasanya tim antara 8 sampai dengan 15 orang, multi disiplin kompetensi.
Mengoperasikan Organisasi Agile harus mewakili proses proses dalam Design Thinking, Lean dan Scrum (reger ke Gartner).
Budaya Organisasi Agile sendiri dapat dilihat dari beberapa parameter misalnya berorientasi kepada kebutuhan user , selalu melibatkan pengukuran baik dari informasi user maupun proses Agile itu sendiri, selalu belajar dan memperbaiki pada perbaikan produk atau proses berikutnya.
Bentuk dan Proses Organisasi Agile
Seperti disampaikan sebelumnya, bentuk organisasi Agile adalah dalam Squad. Di dalam Squad terdapat tim End to End mulai dari menagani pelanggan / user, memetakan journey-nya dan membuat produk / proses itu sendiri (engineering team), bahkan kadang dilengkapi dengan personil dari data analytics / data scientist.
Kompetensi team engineering sendiri tergantung kepada output produk /proses yang dibebankan ke Squad.
Misalnya, jika untuk solusi e-commerce, maka team engineering adalah developer aplikasi e-commerce, baik di front-end maupun back-end.
Akan tetapi jika Squad tersebut bergerak di layanan fisik, misalnya perbaikan TV Cable maka team engineering bisa personil yang mempunyai kompetensi di Cable Coax dan Platform Broadcasting.
Di karenakan, Squad adalah organisasi kecil yang fokus pada solusi yang spesifik. Maka pada organisasi bisnis besar dapat terdiri dari puluhan atau ratusan Squad.
Untuk memengatur banyaknya Squad, maka dikumpulkan ke dalam satu bundel dengan tujuan bisnis yang sejalan dalam sebuah Tribe.
Organisasi Agile membutuhkan tim dengan skill yang bisa mengantisipasi kebutuhan user. Oleh sebab itu, personil di dalam Squad harus selalu diasah dan belajar untuk selalu meningkatkan kompetensi mereka.
Di situ peran Chapter, yaitu bagian organisasi yag bertangung jawab kepada kompetensi skill masing masing personil. Pengelompokan Chapter biasanya berbasis kompetensi atau skill, misalnya Product Manager, Disainer, Developer Front End dan lain-lain.
Proses di dalam Squad adalah proses continuos improvement di mana ada proses iterasi ditingkat konsep melalui Design Thinking, kemudian hasilnya diterjemahkan dalam bentuk Lean (Learn, Build, Measure) yang biasanya merupakan output Squad secara utuh dalam bentuk Produk / Proses.
Output utuh tersebut dibangun oleh satu atau lebih bagian fitur yang di Kembangan melalui proses iterasi Scrum dalam periode waktu yang pendek (satu sampai dengan dua mingguan)
Output, dari sebuah Squad adalah bagian dari output keseluruhan Organisasi Bisnis yang bukan merupakan output alternatif. Sehingga selalu dibandingkan dengan output yang sudah tersedia sebelumnya.
Ini perlu sekali ditekankan karena Transformasi Agile selalu disamakan dengan Inovasi.
Pada umumnya, output inovasi bersifat MVP mendampingi output yang utama. Sehingga pada akhirnya output inovasi bisa menjadi output utama atau tidak sama sekali, tetapi biasanya bentuk dan budaya organisasi tidak akan banyak berubah.
Jika output organisasi squad adalah menggantikan output yang sudah ada sebelumnya, maka harus ada transisi yang jelas kapan masa transisi itu terjadi.
Ini juga termasuk perlunya kejelasan posisi bagi personil di dalam Squad maupun organisasi yang mengeluarkan output sebelumnya.
Budaya dalam Organisasi Agile
Kesadaran di setiap level organisasi bahwa ada bagian organisasi yang bersifat agile harus diterima oleh bagian organisasi lainnya.
Personil di dalam Squad haruslah open mind, suka belajar dan jujur dalam penilaian bobot backlog dan disiplin mengeksekusi backlog.
Budaya perbaikan atau feedback berbasis data juga harus merupakan budaya tim Squad, kemudian hasilnya dimasukkan ke backlog.
Dari backlog, kemudian didorong ke proses development. Karena tim sudah mempunyai OKR maka perlu diberikan kebebasan ke tim bisnis untuk menentukan fitur-fitur apa yang perlu dikembangkan terlebih dahulu.
Pendekatan Transformasi Agile yang Sukses
Sebelum kita terjun ke pendekatan, kami pikir penting untuk membedakan dan memahami dua hal:
1. Transformasi Agile ditandai dengan tingkat ketidakpastian yang tinggi, baik tentang APA yang harus dilakukan dan BAGAIMANA melakukannya.
Tidak jelas seperti apa organisasi masa depan kita secara rinci dan jalan mana yang harus kita ambil untuk mencapai tujuan kita.
Dalam pengertian ini, sangat mirip dengan menciptakan produk inovatif, yang berarti kita harus menggunakan pendekatan empiris.
2. Transformasi Agile bukanlah transformasi dalam arti bahwa Anda memiliki titik awal dan titik akhir.
Karena perubahan konstan dalam lingkungan bisnis kami dan perubahan konstan dalam portofolio kami, kami akan mengalami kebutuhan akan perubahan konstan dalam sistem operasi organisasi kami.
Jadi kita bahkan tidak berubah dari ulat menjadi kupu-kupu, misalnya, tetapi kita tetap dalam transformasi yang konstan dan semoga mencapai pertumbuhan yang konstan sebagai hasilnya.
Atas dasar ini, Anda memahami bahwa setiap transformasi Agile pada akhirnya merupakan perubahan dalam sistem operasi organisasi.
Ini mengubah cara keputusan dibuat, bagaimana tim disusun, bagaimana penganggaran dilakukan, bagaimana kesuksesan diukur, dan banyak lagi. Setiap transformasi Agile tidak hanya membutuhkan dukungan manajemen puncak, tetapi juga perlu didorong oleh manajemen puncak.
Jika bukan CEO, maka orang lain di C-suite atau seseorang yang melapor langsung ke CEO. Jika sebuah organisasi memulai perjalanan ini, itu harus menjadi prioritas nomor 1 untuk semua orang atau akan gagal – tetapi lebih pada itu nanti.
Karena Transformasi Agile, pada dasarnya, merupakan evolusi konstan dari sistem operasi organisasi. Ia harus terus didorong secara internal. Ini bukan sesuatu yang bisa dan harus diserahkan kepada konsultan.
Meskipun dapat didukung oleh pelatih dan konsultan eksternal, pada akhirnya setiap organisasi perlu membangun kemampuan manajemen perubahan untuk mendorong dan mengelola perubahan yang konstan ini secara internal.
Peran Pemimpin Dalam Transformasi Agile
Membuat sistem operasi baru dan bermigrasi dari sistem operasi lama tidak muncul begitu saja. Seperti halnya pengembangan produk, ini membutuhkan banyak usaha.
Dalam pandangan kami, itu adalah peran pemimpin dalam organisasi, mulai dari atas (termasuk dewan) - tidak hanya untuk memungkinkan penciptaan - tetapi untuk membuat sistem operasi itu sendiri.
Manajer bekerja pada organisasi dan bukan hanya di organisasi. Sohrab Salimi
Oleh karena itu, sangatlah penting bahwa para manajer tidak hanya berada di atas kapal, tetapi juga benar-benar mengemudikan kapal.
Ada banyak hal yang perlu diubah. Transformasi Agile tidak sesederhana memperkenalkan beberapa tim scrum, beberapa papan kanban, dan banyak post-nya ke dalam sebuah organisasi.
Jauh lebih dalam dari itu, dan hanya pemimpin yang dapat mengubah struktur, metrik, dan kebijakan untuk membuat organisasi lebih mudah beradaptasi, membuat organisasi lebih inventif, dan membuat organisasi menjadi tempat yang lebih menarik untuk bekerja.
Rekomendasi kami adalah menerapkan pendekatan yang sama untuk mengembangkan produk yang kompleks untuk mengembangkan organisasi yang gesit.
Itu selalu dimulai dengan pertanyaan: Bagaimana seharusnya organisasi kita? Bukan seperti apa seharusnya, tapi HASIL (hasil) seperti apa yang kita tuju.
Berdasarkan hasil yang diinginkan, seperti waktu ke pasar yang lebih cepat, kita kemudian dapat memikirkan perilaku apa, seperti pengambilan keputusan yang lebih cepat, yang kita inginkan.
Pada akhirnya, ini mengarah pada pertanyaan tentang aspek apa dari sistem operasi kita saat ini yang menghalangi munculnya perilaku, misalnya, pengambilan keputusan terpusat, proses persetujuan anggaran yang panjang, dan fitur apa dari sistem operasi baru yang memungkinkan munculnya perilaku yang diinginkan.
Nisalnya, 20 persen atau kepemilikan produk yang sebenarnya dengan otoritas pengambilan keputusan. - Alat yang berguna untuk memikirkan dan memvisualisasikan hal ini secara sistematis adalah Peta Budaya Strategyzer.
Mengapa transformasi Agile gagal?
Lima alasan utama kegagalan Transformasi Agile dievaluasi secara rinci dalam studi oleh Versi Satu beberapa tahun lalu (lihat gambar di bawah).
Transformasi apapun yang tidak bertujuan dan tidak mau mengubah budaya organisasi yang ada sangat mungkin gagal karena nilai-nilai agile (lihat Agile Manifesto) bertentangan dengan budaya yang ada.
Tantangan terbesar dalam mengelola Transformasi Agile adalah memahami budaya yang ada dan secara sadar bekerja menuju budaya baru.
Selain itu, harus ada komitmen yang jelas dari manajemen terhadap perubahan itu sendiri. Komitmen ini merupakan dasar untuk menghadapi resistensi yang diharapkan terhadap perubahan.
Terlalu sering kita melihat organisasi memulai Transformasi Agile mereka tanpa komitmen yang jelas, dan lebih buruk lagi, beberapa bahkan mengatakan alih-alih komitmen bahwa mereka melakukan hal berikut: “Jika tidak berhasil, kami akan mencoba sesuatu yang lain...kami' kembali Agile, bukan?“. - Ini adalah makanan bagi mereka yang menolak perubahan, percaya bahwa jika mereka menunggu cukup lama, mereka tidak perlu berubah.
Dalam pengalaman kami, Anda hanya mendapatkan dukungan manajemen jika perubahan tersebut diamanatkan oleh dewan direksi. Hampir tidak ada yang berbicara tentang peran dewan direksi, tetapi pada akhirnya merekalah yang menentukan strategi organisasi.
Apakah mereka ingin organisasi memberikan hasil jangka pendek?
Jika demikian, tidak ada CEO yang kemungkinan akan memulai jalur Transformasi Agile yang sulit dan berjangka panjang.
Namun, jika dewan ingin perusahaan sukses dalam jangka panjang dan merancang paket kompensasi untuk CEO yang sesuai, peluang keberhasilan transformasi meningkat secara signifikan.
Dua tantangan terakhir, yaitu kurangnya keterampilan Agile dan inkonsistensi atau perbedaan antar tim, relatif mudah di atasi.
Namun, kedengarannya tidak masuk akal bahwa banyak organisasi tidak mau mengeluarkan uang untuk melatih karyawan mereka (misalnya dalam bentuk seminar Agile Leader, Pemilik Produk, atau Scrum Master) dengan cara kerja yang baru dan mengharapkan mereka untuk menerapkannya begitu saja.
Atau pernahkah Anda mendengar seseorang menguasai olahraga apa pun tanpa pelatihan dan pembinaan yang tepat? Kami belum pernah melihat yang seperti ini sebelumnya.
Faktanya, atlet terbaik cenderung memiliki pelatih terbaik. Hal yang sama berlaku untuk individu dan tim dalam organisasi. Semakin baik mereka seharusnya mendapatkan, semakin teliti mereka harus dilatih atau dilatih.
Mereka membutuhkan pelatihan dan dukungan yang sesuai dari pelatih dan pelatih bersertifikat untuk tugas-tugas yang menuntut.
Penting pada titik ini untuk benar-benar skeptis terhadap pelatih atau konsultan. Hanya karena seseorang memiliki Pelatih Transformasi Agile, Manajer Transformasi Agile, atau Konsultan Transformasi Agile di profil LinkedIn mereka tidak berarti mereka dapat memberikan apa yang mereka janjikan.
Terlalu sering kita melihat para coach / konsultan, terutama dari perusahaan konsultan besar, yang hingga saat ini masih mengkampanyekan cara kerja klasik, ikut-ikutan lincah.
Biasanya, orang-orang ini tidak menjadi bagian dari tim yang gesit selama sehari, apalagi memainkan peran yang menentukan dalam transformasi organisasi.
Membuat Transformasi Agile Berhasil
Transformasi Agile pada akhirnya merupakan perubahan organisasi yang besar. Oleh karena itu, banyak pelajaran yang dipetik dari manajemen perubahan "tradisional", seperti proses 8 langkah Kotter untuk mengelola perubahan, adalah valid.
Kita tidak perlu menemukan kembali roda untuk transformasi yang gesit. Delapan langkah tersebut adalah:
1. Ciptakan rasa urgensi
Covid-19 dan cara organisasi bereaksi menunjukkan dengan sangat baik bahwa jika ada kemauan selalu ada jalan.
Tiba-tiba semua karyawan harus bekerja dari rumah dan ya, semua organisasi sebagian besar dapat menyediakan alat dan infrastruktur yang diperlukan untuk mereka.
Hal-hal yang biasanya memakan waktu bertahun-tahun tiba-tiba terjadi dalam hitungan hari karena tidak ada jalan lain.
Rasa urgensi itu sangat penting, dan jika tidak dimiliki oleh semua orang di organisasi, terserah para pemimpin untuk memastikan semua orang memahaminya.
2. Bangun koalisi pemandu
Dari tim kepemimpinan yang selaras (termasuk dewan) hingga tim yang ditugaskan untuk mendorong perubahan itu, koalisi pemandu sangat penting.
Pengalaman terbaik kami adalah ketika eksekutif senior (yang melapor langsung ke CEO) bertanggung jawab untuk melaksanakan Transformasi Agile.
Tim yang dibangun di sekitar mereka adalah tim lintas fungsi yang memiliki semua keahlian yang diperlukan untuk mendorong perubahan dalam organisasi.
Dan, tentunya Anda juga harus mengeluarkan uang dan waktu untuk membentuk tim ini dan melatihnya lebih lanjut melalui seminar. Sebagai aturan, mereka tidak memiliki pelatihan manajemen perubahan selama bertahun-tahun.
BACA JUGA: Soal Kebocoran BRI Life, Bounty Hunter dan Dilema WFH
3. Pembentukan visi dan inisiatif strategis
Anda dapat menggunakan alat untuk ini, misalnya Salesforce V2MOM, tetapi Anda tidak harus melakukannya.
Bagaimanapun, seseorang harus jelas tentang visi strategis transformasi Agile. Ini bukan hanya mengapa kita memulai perjalanan ini (rasa urgensi), tetapi juga bagaimana kita akan melakukannya dan apa yang pada akhirnya ingin kita capai.
Apakah ini tentang menciptakan lingkungan untuk inovasi yang cepat? Apakah ini tentang mempercepat waktu ke pasar? Tentang apa dan bagaimana kita bisa mengukur apakah kita berhasil dalam implementasi?
4. Mendaftar untuk 'pasukan sukarelawan'
Perubahan itu sendiri cukup sulit, jadi jangan membuat kesalahan dengan mencoba meyakinkan orang-orang yang lamban dalam organisasi untuk terus maju.
Prinsip yang sama yang membantu kami dalam pengembangan produk, seperti berfokus pada inovator dan pengguna awal, juga dapat membantu kami mengelola Transformasi Agile kami.
Saat mengumpulkan tim Agile pertama Anda, mintalah sukarelawan. Biarkan mereka bereksperimen dengannya, buat kisah sukses pertama, dan bagikan kisah dan wawasan ini di dalam organisasi.
5. Aktifkan tindakan dengan menghilangkan hambatan
Setiap tim dihadapkan dengan hambatan dan hambatan selama perubahan. Adalah tugas tim untuk bersikap transparan tentang hambatan-hambatan ini, dan merupakan tanggung jawab para pemimpin untuk membantu menghilangkan hambatan-hambatan ini.
Jika tim membutuhkan pelatihan, sediakan dana untuk pelatihan. Jika tim membutuhkan perubahan dalam struktur, bantu mereka mengubah struktur.
Jika perubahan kebijakan diperlukan, seperti ketika tim ingin meminta umpan balik dari pelanggan atau berkolaborasi dengan pesaing, bantu mereka mengubah kebijakan yang diperlukan.
Sebuah organisasi yang tidak mau mengubah lingkungan untuk beberapa tim untuk memberikan produk yang lebih baik dengan cara yang lebih baik kemungkinan besar tidak akan mampu
6. Hasilkan keuntungan jangka pendek
Semakin lama perubahan, semakin banyak bahan bakar yang dibutuhkan untuk menjaga api tetap menyala. Setiap kemenangan, setiap kisah sukses mengobarkan api. Jangan pernah meremehkan betapa pentingnya hal ini.
Ketika sebuah tim melihat tim lain menang, itu tidak hanya memberi mereka harapan, tetapi juga keinginan untuk membuat perubahan mereka sendiri.
Fokus untuk mencapai kemenangan jangka pendek itu dengan cara tim Agile mencoba dengan cepat mengeluarkan MVP (produk minimum yang layak) untuk belajar dan menambah nilai bagi pelanggan mereka.
7. Akselerasi berkelanjutan
Terlalu sering, tim dan organisasi menyatakan kemenangan terlalu cepat. Akibatnya, segala sesuatunya tidak hanya melambat tetapi pada akhirnya kembali ke keadaan semula sebelum perubahan.
Jangan pernah meremehkan kekuatan kebiasaan, terutama di dalam organisasi. Jadi begitu kemenangan awal telah dicapai, gandakan taruhannya. Dorong lebih keras, tak kenal lelah dalam memulai perubahan demi perubahan demi perubahan… sampai seluruh organisasi bergerak.
8. Ubah perusahaan atau jangan pernah berhenti berubah
Gunakan momentum, gunakan kebiasaan baru perubahan konstan untuk membangun budaya perbaikan terus-menerus, tidak hanya membangun untuk APA, tetapi membangun untuk BAGAIMANA. Buat organisasi yang berubah lebih cepat daripada perubahan itu sendiri.