Pakar: Nilai Ekosistem Digital Masih Datang dari Sektor E-commerce
Foto ilustrasi: Firmbee/Unsplash
Uzone.id – Penggunaan internet oleh masyarakat tak hanya persoalan browsing informasi dan memasang status atau pamer foto di media sosial, tapi juga bertransaksi. Belanja kebutuhan dan hobi pun mengandalkan platform digital dari e-commerce, hingga social commerce agar tak perlu repot keluar rumah.
Yup, aktivitas belanja online semakin marak lantaran tak cuma e-commerce saja yang dituju masyarakat, tapi juga ada opsi social commerce – jual-beli produk melalui platform media sosial.Suka atau tidak, bisa dibilang social commerce seperti TikTok Shop yang berada di dalam aplikasi TikTok menjadi ‘pesaing’ bagi layanan e-commerce besar yang selama ini menjadi andalan masyarakat. Sebut saja Tokopedia, Shopee, dan lainnya.
Mungkin terlihat mudah dan praktis, karena masyarakat tinggal melakukan transaksi saat sedang scrolling linimasa media sosial tersebut tanpa harus berpindah aplikasi e-commerce.
Survei Populi The Social Commerce Landscape in Indonesia juga memaparkan 86 persen masyarakat pernah belanja di social commerce per 2022.
Baca juga: Selama 2022, Netizen Suka Belanja Apa Saja di Tokopedia?
Di sisi lain, ada pandangan menarik datang dari Prani Sastiono selaku Wakil Kepala Kajian Ekonomi Digital dan Ekonomi Tingkah Laku LPEM FEB UI.
Menurutnya, sebagian besar value ekosistem digital tetap datang dari e-commerce, bukan social commerce.
“E-commerce sudah matang, jadi kalau social commerce mungkin ada masalah dari aspek consumer protection [perlindungan konsumen], mungkin juga dari aspek jenis usahanya,” papar Prani dalam segmen ‘Profit’ CNBC Indonesia belum lama ini.
Poin penting lainnya yang perlu dipertimbangkan masyarakat, menurutnya, adalah e-commerce telah mengakomodasikan aspek formalitas dan legalitas melalui klasifikasi seperti Mall atau Official Store.
Dari sini, masyarakat mendapatkan jaminan aman untuk membeli produk atau barang yang diincar dengan nilai tinggi. Hal ini juga yang menciptakan kompetisi segmen produk tertentu.
Dengan kata lain, dari pandangan Prani, pengguna social commerce akan dapat beralih ke e-commerce apabila produk yang hendak dibeli dianggap tidak memiliki nilai tinggi, atau pengguna merasa tidak cukup aman mendapatkannya dari social commerce.
Kolaborasi (masih) jadi kunci
Terlepas dari plus minus dari social commerce, kehadiran dua metode ini –social commerce dan e-commerce– tetap dianggap mutualisme. Sinergi berupa kolaborasi tetap dibutuhkan untuk menguntungkan satu sama lain.
Dari penuturan Ketua Dewan Pembina idEA, Rudiantara, platform e-commerce yang belum terlalu besar justru disarankan berkolaborasi dengan social commerce seperti TikTok Shop sebagai kanal distribusi.
Baca juga: Jajanan Lokal Laris di E-commerce Sepanjang 2022, Ada Seblak!
Pun begitu dengan social commerce yang ingin mencakup semua segmen, maka mereka harus memiliki ekosistem matang seperti e-commerce Indonesia. Mulai dari armada logistik, gudang (warehouse), dan lainnya – dan hal ini memang bukan bisnis utama mereka, karena mereka platform media sosial.
Bisa dibilang kalau social commerce perlu berkolaborasi dengan e-commerce besar untuk menggaet segmen pasar yang jauh lebih luas dan dapat memanfaatkan ekosistem yang sudah kuat.
Selebihnya, platform e-commerce besar juga dapat belajar dari interaksi yang dibangun antara penjual dan audiens di social commerce.
“Di social commerce sifatnya live, kontennya lebih bagus. Kalau [platform e-commerce besar] banyak konten, barangkali menarik,” pungkas Rudiantara pada kesempatan yang sama.