MUI Pusat Bentuk Dai Digital, Jauh Berbeda Dari Buzzer
Uzone.id - Berbeda dengan MUI DKI Jakarta yang membentuk Cyber Army untuk membela tokoh-tokoh ulama di sosial media, MUI Pusat justru sedang mencanangkan program Dai Digital.
Sebelumnya, Ismail Fahmi selaku Wakil Ketua Komisi Infokom MUI Pusat mengatakan bahwa istilah Cyber Army ini tidak terlalu tepat adanya.Begitupun dengan aktivitas Buzzers yang tidak diperbolehkan bahkan seperti yang disampaikan sebelumnya oleh MUI bahwa Buzzer ini bersifat haram.
Ismail juga menegaskan bahwa prinsip Buzzer dan prinsip yang pernah disampaikan oleh Ketua Umum MUI Pusat KH Miftachul Akhyar sangat jauh berbeda.
“Buzzer itu sifatnya adalah membela apa tuannya atau siapa yang harus dibela dan menyerang lawan. Artinya, ia berdiri di satu sisi. Sementara menurut ketua umum MUI Pusat, MUI itu harus merangkul bukan memukul,” ujar Ismail ketika dihubungi oleh tim Uzone.id, Senin, 22 November 2021.
Ismail menambahkan ketika ada protes, hal tersebut lantas bukan dianggap sebagai ancaman melainkan masukan atau kritikan. Pun jika ada hoax, ya tentu diluruskan dan dibetulkan, bukan kemudian dibalas.
Dai Digital MUI Pusat
Berbeda dengan istilah Cyber Army yang dibentuk oleh MUI DKI Jakarta, MUI pusat saat ini mencanangkan Dai Digital atau Mujahid Digital.
“Kita sekarang MUI Pusat sedang ada kerjasama dengan Menkominfo untuk melatih di 6 wilayah, Bogor, Medan, Surabaya, Pontianak, Makassar dan setelah itu Papua,” ujar Ismail.
Dari masing-masing daerah tersebut nantinya akan ada perwakilan anak-anak muda Infokom MUI yang kemudian akan melatih Dai Digital di daerahnya masing-masing.
Dai digital ini memiliki peran untuk menggunakan media digital, khususnya media sosial untuk berdakwah. Nantinya, mereka akan dilatih ilmu jurnalistik dan multimedia seperti membuat tulisan, foto, dan video dari konten-konten dakwah.
Hadirnya dai digital ini tak lepas dari banyaknya pengguna sosial media yang hadir dari kalangan anak-anak muda.
Banyaknya konten dakwah dengan durasi 1 jam lebih terkadang membuat anak-anak muda ‘tidak tertarik’ untuk menonton karena terlalu panjang durasinya.
Nah, disinilah Dai Digital nanti berperan. Mereka mem-package ulang dakwah tersebut menjadi video 1, 2, atau 3 menit, mengambil bagian yang esensial tanpa mengurangi konteks sehingga hikmahnya tetap tersampaikan.
Begitupun ketika adanya hoaks yang menyebar di masyarakat, para Dai Digital ini nantinya akan meluruskan hoaks tersebut dan menjelaskan bahwa hal itu tidak benar lewat video.
Video tersebut kemudian diunggah ke sosial media populer seperti TikTok, Instagram, YouTube, Facebook dan bisa juga di share lewat WhatsApp.
Ismail mengatakan secara umum siapa saja bisa menjadi Dai Digital. MUI sendiri menghadirkan gerakan Dai Digital ini untuk memberikan contoh, menyemangati dan menjadi sampel untuk anak-anak muda bahwa inilah Dai Digital, banyak yang bisa mereka lakukan.
“Mengingat mayoritas pengguna sosial media adalah generasi milenial dan generasi Z, attention span nya semakin pendek, jadi lebih baik dikasih konten-konten positif. Ceramah yang pendek sekitar 1,5 menit berisi sebuah hikmah yang kuat. Dari situ mereka bisa belajar,” tutup Ismail.