Home
/
News

Mereka yang Memilih Tidak Mudik Tiap Lebaran

Mereka yang Memilih Tidak Mudik Tiap Lebaran

Filani Olyvia21 June 2017
Bagikan :
Dua puluh lima tahun hidup di tengah hiruk pikuk kota metropolitan Jakarta tidak lantas membuat Shemi merasa bosan.
 
Sekalipun saat ibu kota mulai ditinggalkan oleh sebagian besar penghuninya di musim mudik lebaran tahun ini.


Jakarta yang lengang justru punya daya tarik tersendiri bagi pria berperawakan tinggi ini. Shemi tak pernah terpikir pulang ke kampung halaman sang ibu di Gunungkidul, Yogyakarta, untuk berlebaran bersama sebagian anggota keluarga.

"Dari dulu gue beranggapan mudik itu merepotkan," celetuknya.

"Berjuang melawan kemacetan, berdesakan dengan banyak orang".

Toh, menurut Shemi, berlebaran di Jakarta juga tidak buruk-buruk amat. Apalagi, keluarga besar sang ayah, yang memang asli turunan Betawi, tidak pernah mengenal istilah mudik.

Paman, bibi, sepupu dan keponakan, yang tersebar di sekitar kawasan Jakarta, Tangerang, Depok dan Bekasi pun, jarang sekali, bahkan nyaris tidak pernah meninggalkan ibu kota saat lebaran.

Euforia merayakan Hari Raya Idul Fitri bersama keluarga, kata Shemi, tidak sepenuhnya hilang saat memutuskan merayakan hari raya di Jakarta.

"Bantuin nyokap bikin kue kering jelang lebaran. Makan opor ayam usai salat Ied, silaturahmi ke rumah saudara, halal bihalal sama teman-teman, atau benar-benar bersantai seharian di rumah," ujar Shemi.

Namun tahun ini, tampaknya Shemi harus ikhlas merayakan hari raya Idul Fitri tanpa kehadiran ibu, ayah dan adik perempuannya.
Calon penumpang kereta antre masuk Stasiun Senen, Jakarta, jelang Hari Raya Idul Fitri 2017.
Preview
Calon penumpang kereta antre masuk Stasiun Senen, Jakarta, jelang Hari Raya Idul Fitri 2017. (CNN Indonesia/Safir Makki)

Sang ayah yang baru saja pensiun justru berniat memboyong seluruh anggota keluarga untuk berlebaran di Yogyakarta. Terpaksa, Shemi tak ikut karena tidak bisa melepas tanggung jawab pekerjaannya di ibu kota. Bekerja sebagai seorang jurnalis di salah satu media online, kata dia, memang kadang sulit diperkirakan.

"Yang pasti, gue bakal sedih enggak bisa makan masakan nyokap," kata pria 25 tahun ini.

"Tapi, paling enggak ada keluarga yang lain. Mungkin bisa gue manfaatkan buat lebih banyak berkumpul sama teman-teman yang sudah lama enggak ketemu juga," ujarnya.

Beda lagi cerita Lahira (25). Seorang pegawai di salah satu Badan Usaha Milik Negara, yang menetap di Padang, Sumatera Barat.

Tidak seperti anggota keluarga lainnya, orang tua Lahira memang tidak pernah 'merantau', atau mengadu nasib di pulau seberang. Lahira yang merupakan sulung dari tiga bersaudara pun mengikuti jejak orang tuanya tersebut.

Sejak lulus SMA, Ira, sapaan Lahira, memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya di Universitas Bung Hatta, Padang. Kemudian mencari pekerjaan di kota yang sama.

Maka setiap momen lebaran, Ira dan orang tuanya yang menjadi tuan rumah bagi anggota keluarga lain yang mudik dari tanah Jawa.

Meski tidak ikut merasakan padatnya jalanan di musim mudik lebaran, Ira justru tidak kalah repot ketimbang mereka yang mudik. Menyiapkan berbagai macam hal untuk menyambut anggota keluarga yang sebagian besar memang hanya bisa bertemu dalam kurun waktu sekali dalam setahun.

"Yang wajib disiapkan itu biasanya makanan. Karena sudah merantau, seleranya suka beda-beda. Kadang sebelum pulang, sepupu-sepupu aku sudah berisik, titip minta dibikinin apa," kata Ira.

Tanah Minang memang dikenal dengan berbagai macam penganan nikmat yang sanggup mengunggah selera. Kaya akan rasa, dan mitosnya, kalau dimasak langsung oleh orang-orang berdarah Minang yang memang lama tinggal di sana, kenikmatannya langsung bertambah berkali-kali lipat.

"Yang paling favorit itu kerupuk mi," ujar Ira.

Kerupuk mi adalah sejenis camilan yang dibuat dari kerupuk singkong atau opak yang diatasnya ditaburi bihun goreng, kemudian disiram kuah sate padang atau bumbu kacang.

Tidur berdesakan selama kurang lebih satu minggu. Karena di rumah sederhana yang hanya memiliki tiga kamar tidur, tiba-tiba harus menampung setidaknya dua puluh hingga dua puluh lima kepala. Mengantre untuk menunggu giliran mandi, dan masih banyak lagi.

Namun keriaan demikian tentu tidak setiap tahun Ira rasakan. Karena tidak setiap tahun juga anggota keluarga yang merantau bisa pulang ke kampung halaman.

Pernah satu kali, keluarga besar Ira yang sebagian besar berdomisili di sekitar Jawa Barat, memutuskan untuk merayakan Hari Raya Idul Fitri bersama di Kota Bandung. Ira yang tinggal di Padang kemudian ikut merasakan gelombang arus mudik saat berada di bandar udara.

Tapi berlebaran jauh dari rumah memang tidak nikmat.

"Enakan lebaran di kampung. Suasana kekeluargaannya lebih terasa. Karena intim, desak-desakan begitu kali, ya? Tetangga kiri dan kanan juga ramai didatangi keluarga mereka dari perantauan. Jadi makin ramai," ujarnya mengakhiri.

Berita Terkait

populerRelated Article