Menghadapi Kekalahan: Katanya Biasa, tapi Kok Sulit Diterima?
Dalam sebuah kompetisi, kalah atau menang adalah hal biasa. Begitulah yang sering dikatakan orang. Namun, tak bisa dimungkiri, menerima kekalahan bukan hal yang mudah dilakukan, apalagi jika hal itu terjadi berkali-kali.
Ada yang stres hingga jatuh mengutuki diri; menganggap diri sebagai manusia gagal. Namun, ada yang tak bisa menerima kekalahan, marah karena menganggap dirinya tak seharusnya duduk di kursi pecundang.
Ketakstabilan karena kegagalan semacam itu pun terjadi pada tikus. M.E. Albonetti dan F. Farabollini pernah membuat riset “Social Stress by Repeated Defeat: Effects on Social Behaviour and Emotionality” (1994) yang membahas konsekuensi dari stres akibat kekalahan berulang baik dalam perilaku sosial maupun non-sosial.
Dalam riset yang dipublikasikan melalui Jurnal Behavioural Brain Research (1994) ini, mereka menggunakan tikus laki-laki sebagai subjek percobaan dan mengamati perilaku mereka setelah kekalahan terakhir.
Penelitian itu menemukan hasil bahwa ketika seekor tikus mengalami sebuah kegagalan berulang, mereka akan lebih sensitif ketika menemukan sebuah pelanggaran. Hal tersebut akan berdampak lebih besar terhadap permusuhan antar-tikus.
Kesimpulan itu didapatkan setelah melakukan serangkaian percobaan dengan menggunakan tikus kelompok stres berjumlah 10 dan kelompok kontrol berjumlah 9. Tikus-tikus stres itu diberi kesempatan untuk membiasakan diri dengan tikus dri kelompok kontrol selama 2 minggu.
Kemudian, mereka yang berada di kelompok stres akan dimasukkan ke dalam kandang sehari sekali, dan di dalam kandang itu terdapat tikus-tikus agresif yang tak dikenali.
Tikus agresif itu adalah tikus yang dilatih sebagai pemenang dalam segala aktivitas sosial mereka dan telah hidup terisolasi sejak berusia 8 bulan. Mereka yang stres itu akan dibiarkan di dalam kandang sampai terjadi kekalahan hingga durasi waktu maksimum 15 menit, lalu dikembalikan ke dalam kandang masing-masing.
Selama 7 hari itu, setiap subjek yang ada pada kelompok stres akan dipertemukan dengan tikus yang berbeda-beda
Dalam penelitian ini, tikus-tikus mendapatkan perlakuan penanganan stres yang berbeda.
Ternyata di situ ditemukan bahwa perlawanan pada kelompok tikus stres akan lebih agresif ketimbang mereka yang ada di keadaan kontrol (tidak tertekan).
Bagaimana ketika kegagalan terjadi pada kita, spesies manusia? Contoh kekalahan yang gampang dilihat adalah ketika para atlet harus bertekuk lutut kepada lawannya. Don Greif, melalui artikelnya di Psychology Today, memberikan pandangan soal sebuah kegagalan.
Greif mengumpamakan sebuah kegagalan seperti kepala Janus, salah satu dewa dalam mitologi Romawi yang memiliki dua kepala. Di satu sisi, kekalahan bisa dipandang sebagai sebuah tantangan dan jalur untuk selangkah lebih maju, tapi di sisi lain, kegagalan adalah Lucifer yang mengajak kita untuk masuk ke neraka yang lebih dalam.
Bagi Greif, kegagalan adalah sebuah risiko yang memang harus dihadapi saat kita sedang mencoba sesuatu. Dalam kejuaraan antar-klub, tentu ada klub yang menjadi primadona dan selalu menjadi juara, tapi klub-klub yang kerap kalah tak mungkin mundur begitu saja ketika bertemu para jawara di lapangan. Maka, cara yang bisa dilakukan adalah tampil sebaik mungkin dan memodifikasi strategi.
Contoh lain adalah kegagalan ketika melamar pekerjaan. Berpuluh-puluh surat lamaran telah disebar ke sana-sini, ke perusahaan besar maupun kecil, tapi tak pernah ada telepon yang mengabarkan panggilan lebih lanjut. Lalu, Anda melirik ke kanan-kiri; orang lain yang mungkin baru sekali melempar lamaran kerja bisa langsung memperoleh posisi idamannya.
Tentu manusia bukan tikus. Ketakstabilan, baik karena merasa tak terima atau down, bisa ditindaklanjuti dengan sikap yang lebih baik. Apa yang bisa dilakukan?
Gagal Bukan Berarti Pecundang
Kesalahan terbesar dari orang yang menerima kegagalan adalah saat mereka menganggap diri pecundang. Dalam situasi seperti ini, mereka akan menganggap kekalahan adalah hal yang memalukan. Akibatnya, orang akan takut kalah dan tidak mempersiapkan diri untuk takluk pada lawan.
Melalui artikelnya di Psychology Today, Kenneth Barish, seorang profesor psikologi klinis di Weill Cornell Medical College mengungkapkan adanya peran orangtua dalam pembentukan tatanan emosional anak dalam menghadapi kegagalan.
Barish mencontohkan perilaku anak yang sangat menikmati kemenangan mereka dalam sebuah permainan. Sebagian orang dewasa menanamkan pikiran “harus menang” kepada buah hati mereka. Alasan inilah yang membangkitkan perasaan malu dan gagal saat mereka mengalami kekalahan. Dan parahnya, ada orang-orang yang tetap membanggakan kemenangan anak mereka, meskipun keberhasilan itu ditempuh dengan cara yang tak semestinya.
Hati-hati dengan risiko dari cara membesarkan anak seperti ini. Demi memastikan kemenangan, anak bisa berusaha menipu, misalnya dengan membuat aturan sendiri atau mengubah aturan demi keuntungan mereka. Lebih lanjut, menang pun bisa jadi tak cukup lagi. Anak bisa menyombongkan diri dan mengejek lawannya ketika ada di puncak kemenangan.
Barish menjelaskan, sebuah kemenangan akan mampu menghadirkan rasa dominasi bagi seseorang, baik secara fisik maupun intelektual. Kemenangan yang mereka dapatkan dianggap sebagai jalan untuk menunjukkan kekuatan keterampilan mereka, atau dengan kata lain, kemenangan dianggap mampu meningkatkan harga diri seseorang.
Jika Anda Kalah
Kent Kowalski dan Leah Ferguson dalam artikelnya di The Conversation mengungkapkan cara yang bisa dilakukan oleh atlet-atlet olimpiade ketika mengalami kegagalan.
Kita tak bisa menghindari kekecewaan yang muncul ketika mengalami kekalahan. Ada rasa sakit yang terasa ketika harus mengakui bahwa sang lawan lebih hebat daripada kita.
Bagi para atlet, arena olimpiade adalah pengalaman yang menguras emosional mereka. Kisah kegagalan-kegagalan yang terus dialami dalam gelanggang berpotensi membuat mereka merasa sedang mengalami kemunduran karier. Apalagi jika kekalahan itu dibarengi dengan konsekuensi lain, seperti kehilangan pemasukan.
Kenyataan-kenyataan ini akhirnya bisa menjadi salah satu penyebab kehancuran mereka di laga selanjutnya. Untuk itu, para atlet mesti belajar untuk berbelas kasih kepada diri sendiri, yakni dengan mengenali keadaan emosional dan melakukan sesuatu untuk mengatasi itu.
Sikap keras dan kritis yang muncul setelah mengalami kekalahan justru membuat pikiran kita menjadi tak seimbang dan membikin emosi. Padahal, kita dan pesaing sebenarnya mengalami kesulitan yang sama.
Di sisi lain, orang mengaitkan antara kepercayaan diri dan harga diri. Dengan sikap welas asih kepada diri, seseorang bisa mengesampingkan perasaan kompetitif, sehingga kekalahan pun lebih diterima dengan ikhlas. Tak perlu ada rasa malu ketika kalah.
Penerimaan atas kegagalan ini akan membuat kita lebih jernih dalam mengevaluasi diri. Menurut Kowalski dan Ferguson, welas asih mampu meningkatkan ketekunan bagi para atlet dan mengurangi kepasifan mereka saat kembali menghadapi kegagalan.
Namun, tentu para atlet tak bisa sendiri. Frank L. Smoll, seorang profesor psikologi di University of Washington, mengatakan bahwa orang terdekat dan pelatih harus memberi rasa hormat kepada sang petarung dan tak menyangkal kekalahan itu.
Smoll pun menegaskan kepada orang terdekat dari para atlet untuk tidak menyalahkan atau marah, baik kepada sang atlet maupun timnya ketika mereka bermain buruk. Bagi atlet dan timnya, menghadapi kekalahan sudah seperti mimpi buruk.
Ia juga menegaskan agar orang terdekat tak lupa mengapresiasi. Tetap tunjukkan kebanggaan. Katakan bahwa Anda tahu kekalahan itu tak enak, tapi sampaikan juga kebanggaanmu kepada jagoan Anda.
Baca juga artikel terkait KALAH atau tulisan menarik lainnya Widia Primastika