Mencari Untung dari Bisnis Penukaran Uang
“Dari awal, kami sudah komitmen jangan main-main, jangan ngurang-ngurangin.”
Begitulah cara Ote (21) penyedia jasa penukaran uang rupiah untuk lebaran meyakinkan saya tentang sikapnya mencari rezeki. Ote menawarkan jasanya di Jalan Mabes Hankam, Jakarta Timur sejak Selasa (5/6/2018) pekan lalu. Ia mulai berjualan dari pukul 07.00 WIB sampai pukul 18.00 WIB.
Menjadi penyedia jasa penukaran uang rupiah sudah menjadi usaha turun-temurun keluarga yang dirintis nenek Ote. Pria yang masih berstatuskan sebagai mahasiswa ini mengatakan almarhumah neneknya sudah rutin berjualan uang rupiah setiap tahun sejak ibu Ote berusia 20 tahun.
Selama berjualan, Ote tidak sendirian. Ia menjajakan pecahan uang rupiah bersama anggota keluarganya yang lain. Ote yang ketika ditemui sedang duduk santai di atas jok sepeda motornya menyebutkan bibi, paman, sepupu, hingga mertua bibinya juga ikut menawarkan jasa penukaran uang rupiah.
“Memang di keluarga saya ini turun temurun. Terkadang ada tetangga yang mau ikut berjualan uang. Akhirnya ikut, anak-anaknya juga dibawa,” ujar Ote kepada Tirto.
Membagikan uang kepada sanak keluarga saat hari lebaran sudah menjadi tradisi di sebagian kalangan keluarga muslim Indonesia. Biasanya, anggota keluarga yang lebih tua atau sudah bekerja memberi uang kepada anak-anak atau mereka yang belum bekerja. Nominal uang yang dibagikan kebanyakan terdiri dari pecahan Rp1.000, Rp2.000, Rp5.000, Rp10.000, dan Rp20.000. Tradisi ini membuat usaha keluarga Ote bertahan hingga sekarang.
Ote mengklaim uang yang ia sediakan terjamin keaslian dan jumlahnya. Menurut Ote, wajib hukumnya bagi ia dan anggota keluarganya yang lain untuk tidak mengelabui konsumen.
“Pokoknya apa yang ada di dalam plastik itu benar-benar uang asli dan hitungannya jangan sampai salah. Kami kan setiap tahun ada di sini, jadi biar orang-orang juga tahu, kalau mau menukarkan di sini lagi saja,” jelas Ote.
Sebelum berjualan di Jalan Mabes Hankam, keluarga Ote pernah berdagang uang rupiah di sekitar Terminal Kampung Rambutan, Jakarta Timur. Akan tetapi karena jumlah pedagang yang menawarkan jasa serupa kian banyak di sana, mereka pun memutuskan untuk pindah.
Di Jalan Mabes Hankam arah ke Terminal Kampung Rambutan, Ote dan anggota keluarganya yang lain berdiri secara berdekatan. Ote berada di urutan ketiga setelah kedua pamannya.
Ote bilang kendaraan yang datang dari arah Cilangkap cenderung menukarkan uang ke pamannya yang berdiri di urutan paling depan. Ia bercerita beberapa hari lalu pamannya sempat menukarkan uang hingga Rp40 juta. Sementara dirinya, sampai sejauh ini maksimal berhasil menukarkan uang sebesar Rp5 juta.
“Sebenarnya ya pengin ke depan, cuma karena mereka sudah duluan ada di situ, jadi saya di sini saja. Lagipula kan rezeki sudah ada yang mengatur,” ucap Ote lagi.
Dari setiap transaksi yang dilakukan, Ote mendapatkan komisi sebesar 10 persen dari jumlah yang ditukarkan. Katakanlah ada konsumen yang hendak menukarkan uang sebesar Rp100.000 dalam pecahan tertentu, maka ia harus membayar Rp110.000.
Uang sebesar Rp10.000 itulah yang lantas menjadi keuntungan bagi Ote. Kepada saya, Ote mengaku keuntungan itu sepenuhnya menjadi miliknya. Apabila dalam sehari pecahan uang yang ditukarkannya rata-rata mencapai Rp5 juta, maka keuntungannya per hari berkisar Rp500 ribu.
“Kalau saya kan memang dapat pecahan uangnya senilai Rp50 juta. Jadi kalau pecahannya sudah habis ditukarkan, keuntungan sepenuhnya buat saya,” ungkap Ote.
Saat disinggung mengenai asal pecahan uang yang diperolehnya, Ote mengaku dapat dari pamannya. Ia mengklaim pamannya itu mendapatkan pecahan uang dari kenalannya yang bekerja di bank.
Selain Ote, saya juga sempat menemui salah seorang penjual pecahan uang rupiah lain bernama Erik (34). Pria yang sehari-harinya bekerja sebagai karyawan swasta itu telah berjualan pecahan uang rupiah sejak H-7 hingga H-1 Lebaran. Erik mengaku pecahan uang yang dimilikinya mencapai Rp60 juta.
Berbeda halnya dengan Ote, Erik mengaku dapat pecahan uang tersebut dari seorang kenalannya. Adapun sosok yang dipanggil Erik dengan sebutan “Bos” ini yang dikatakannya memiliki jaringan ke orang dalam bank.
“Keuntungan dari setiap menukarkan uang itu besarannya 10 persen. Kalau jumlahnya sendiri belum pasti, bisa sehari dapat Rp5 juta, tapi kayak hari ini saja baru nukerin Rp600 ribu,” ungkap Erik kepada Tirto, Selasa (12/6/2018).
Apabila keuntungan yang diperoleh Ote sepenuhnya masuk ke dalam kantongnya, berbeda halnya dengan Erik. Meski tidak merinci besaran persentase yang harus disetorkannya, tapi Erik membenarkan bahwa ada bagi hasil yang harus dilakukan bersama Bos.
Menjadi penyedia jasa penukaran uang bukan tanpa risiko. Erik mengatakan uang rekan sejawatnya pernah dirampas paksa. “Dia lagi jualan di dekat saya sini, terus tiba-tiba ada mobil mendekat dan uangnya dibawa kabur. Langsung deh mobilnya dikejar sama tukang ojek. Untungnya tertangkap,” ucap Erik.
Baik Ote maupun Erik pada intinya sepakat bahwa penjual uang di pinggir jalan tak seharusnya beroperasi sendirian. Selain memilih tempat yang dekat keramaian atau berdekatan dengan para penjaja yang lain, penjual pecahan uang juga sebaiknya ditemani kerabatnya demi alasan keamanan dan keselamatan.
Tak hanya menghadapi ancaman berupa pencopetan, tak jarang ada juga yang dihipnosis maupun ditipu saat sedang menawarkan. “Sejauh ini paling risiko keamanan seperti itu ya, tidak sampai ada teguran untuk tidak boleh berjualan,” kata Erik yang sudah berjualan pecahan uang sejak tiga tahun terakhir.
Terkait dengan teguran dari pihak berwenang sebagaimana disinggung Erik, Ote juga menyebutkan bahwa selama dirinya berjualan uang, tidak pernah ada larangan yang diterimanya. Ote sendiri mengaku hanya pernah sekali didatangi salah seorang anggota TNI yang menanyakan keaslian uang dan memastikan dirinya tidak menipu konsumen.
Bank Indonesia (BI) sebelumnya telah mengimbau agar masyarakat tidak menukarkan uangnya di pinggir jalan. Menurut Deputi Gubernur BI Rosmaya Hadi, uang seharusnya tidak boleh diperjualbelikan sehingga masyarakat harus menukarkan uang ke berbagai titik yang sudah disetujui BI, tanpa dikenakan biaya tambahan.
Kendati demikian, masih ada juga masyarakat yang tidak masalah untuk menukarkan uangnya di pinggir jalan. Salah satunya adalah Rossa. Saat ditemui seusai menukarkan uang di Jalan Mabes Hankam, Rossa mengatakan bahwa ini bukan kali pertamanya ia melakukan hal itu.
“Tahun-tahun lalu juga nukerin uang di sekitaran sini. Kebetulan selalu pas lagi lewat, jadi sekalian. Biar enggak nanti-nanti juga,” ujar Rossa.
Walaupun menyadari risiko terkait biaya tambahan maupun keaslian uang, tapi Rossa mengaku tidak khawatir. Tempo hari, Rossa menyebutkan bahwa ia menukarkan uang sebesar Rp500.000,00 yang semuanya dalam bentuk pecahan Rp100.000,00.
Bisnis penukaran uang seperti ini memang tidak bisa dilarang begitu saja menjelang Lebaran. Baik penyedia jasa maupun konsumen sebetulnya sudah sama-sama tahu mengenai risiko dan konsekuensi yang harus dihadapi. Menukarkan uang di pinggir jalan masih menjadi alternatif karena aksesnya yang relatif mudah dijangkau dan tak perlu antre.
Baca juga artikel terkait PENUKARAN UANG atau tulisan menarik lainnya Damianus Andreas