Home
/
News

Mati Akibat Gelombang Panas, Ancaman Bagi Warga Miskin Kota

Mati Akibat Gelombang Panas, Ancaman Bagi Warga Miskin Kota
Kolumnis: 24 March 2019
Bagikan :

Pada Ramadhan 2018 adalah masa berpuasa paling menyiksa bagi warga Pakistan. Gelombang panas melanda banyak area perkotaan di negara itu. Puluhan warga Kota Karachi, misalnya, tumbang. Meski sebagian sempat dibawa ke rumah sakit, 65 orang di antaranya akhirnya meregang nyawa.

Reuters melaporkan suhu di kota dengan populasi terpadat di Pakistan itu mencapai 44 derajat Celcius pada Minggu (20/5/2018). Faisal Edhi adalah pengelola kamar mayat dan layanan ambulans Edhi Foundation. Ia mengatakan korban meninggal mayoritas berasal dari area miskin.

“Mereka meninggal hanya dalam tiga hari terakhir. Kami mengurus jenazah di fasilitas penyimpanan dingin. Dokter lokal bilang mereka meninggal karena stroke akibat udara terlalu panas.”

Pada 2015 kejadian yang sama merenggut lebih banyak nama. Sedikitnya 1.300 orang meninggal akibat gelombang panas, di mana sebagian besar di antaranya adalah kaum lanjut usia (lansia) dan orang sakit.

Kala itu Edhie kekurangan tempat penyimpanan dingin setelah melayani sekitar 650 jenazah. Ambulans meninggalkan mayat-mayat yang membusuk di luar dalam kondisi panas terik. Sebagian besar adalah buruh pabrik dari wilayah Landhi dan Korangi, dua kawasan yang dikenal sebagai tempat tinggal warga ekonomi lemah di Karachi.


“Mereka bekerja di dekat pemanas dan boiler di pabrik-pabrik tekstil. Ditambah lagi ada jadwal pemadaman bergilir di area tersebut, yang berlangsung antara delapan hingga sembilan jam.”

India mengalami permasalahan serupa. Guardian melaporkan pemerintah setempat memangkas jam belajar siswa. Sejumlah program pemerintah dihentikan. Air bersih didistribusikan ke area-area ramai. Beberapa ada yang berinisiatif mengecat tembok dengan cat warna putih, yang dinilai mampu memotong suhu di dalam gedung hingga lima derajat.

Tahun lalu situasinya tidak separah tahun-tahun sebelumnya. Angka kematiannya pun sebenarnya mengalami penurunan.

Pada 2015 korban meninggal akibat gelombang panas di India sebanyak 2.040 jiwa. Dua tahun kemudian angkanya berkurang: sedikit di atas 200 jiwa. Meski demikian, totalnya sejak 1992 tetap bikin geleng-geleng kepala: 25.000 jiwa.

Data dari Kementerian Ilmu Pengetahuan Bumi, yang dilansir Deutsche Welle, tidak jauh berbeda. Sepanjang 2013-2017 warga India yang mati akibat gelombang panas terhitung 4.620 jiwa. Sekali lagi, kebanyakan korban berstatus sebagai buruh upah rendahan yang bekerja di sektor pertanian atau konstruksi.

Ancaman Kemanusiaan di Penghujung Abad 21

Gelombang panas adalah satu periode di mana suhu suatu wilayah meningkat drastis dan tingkat kelembaban tinggi, terutama di negara-negara yang beriklim samudera.

Tubuh manusia tidak dirancang untuk menghadapi panas secara terus menerus. apalagi jika malamnya suhu tidak mendingin. Otak, paru-paru, dan organ lain hanya bisa berfungsi dalam kisaran suhu yang sempit. Manusia akan mengalami heat stroke jika inti tubuh berada di suhu 39 derajat Celsius atau lebih.

Suhu tubuh penderita heat stroke naik tajam secara tiba-tiba. Gejala utamanya mual, kejang, disorientasi, hingga kehilangan kesadaran atau koma. Jika memicu komplikasi atau tidak segera ditangani, kondisi ini bisa menyebabkan kerusakan otak dan jaringan internal lain, atau meninggal dunia.

Pemanasan global adalah faktor pendorong utama dari gelombang panas, sebagai salah satu bentuk perubahan iklim ekstrem. Gelombang ini tetap ada meski Bumi tidak terkungkung emisi karbon. Tapi pemanasan global membuat penyebaran makin luas dan durasi kejadiannya makin awet.


Pada Juni 2017 Camilo Mora dan kawan-kawan menerbitkan hasil penelitiannya di Jurnal Nature Climate Change. Hasilnya mengungkapkan bahwa jika pemanasan global masih dalam taraf yang seperti sekarang, 30 persen umat manusia akan terancam 20 hari gelombang panas mematikan per tahunnya.

Lebih lanjut, jika pemanasan global bertambah parah, maka gelombang panas selama 20 hari itu akan mengancam nyawa hingga 74 persen dari total populasi dunia pada tahun 2100.

“Gelombang panas mematikan sebenarnya sangat umum. Saya tidak tahu mengapa masyarakat kita tidak lebih peduli akan bahayanya. Gelombang panas di Eropa pada 2003, misalnya, menewaskan sekitar 70.000 orang. Angka ini lebih dari korban kematian akibat Serangan 11 September dikali 20,” kata Camilo kepada National Geographic.

Camilo menambahkan tiap tahun gelombang panas diam-diam telah membunuh banyak orang di lebih dari 60 titik di dunia. Selain tragedi di Eropa pada 2003, ada gelombang panas di Moskow pada 2010 dengan korban meninggal sebesar 10.000 orang. 700 nyawa juga melayang saat Chicago dihajar gelombang panas pada 1995.

Ekses Urbanisasi

Laporan eksklusif Amy Fleming dan kawan-kawan untuk Guardian pada Agustus 2018 mengungkap rangkaian kasus kematian akibat gelombang panas di berbagai negara. Kesimpulannya: baik di masa lalu, masa kini, apalagi masa depan, korban terbesarnya selalu berasal dari golongan warga miskin kota.

Misalnya berkaca pada kematian lebih dari 90 orang pada awal Juli 2018 saat gelombang panas menyapu Provinsi Quebec, Kanada. Korbannya banyak yang berstatus sebagai tunawisma.

Warga kelas menengah (ke atas) bisa bersantai di rumah mereka yang berpendingin ruangan, sementara para tunawisma terpaksa meneduh di mal, restoran, atau gedung-gedung milik pemerintah.

Atau di Amerika Serikat, di mana pekerja imigran tiga kali lebih mungkin meninggal akibat gelombang panas dibanding warga asli. National Weather Service AS menyatakan antara tahun 1987 hingga 2016 korban kematian akibat gelombang panas mencapai rata-rata 131 orang per tahun.


Tahun 2018 didaulat sebagai tahun terpanas keempat sepanjang sejarah (setelah 2016, 2015, dan 2017). Area perkotaan mengalami peningkatan suhu tercepat dibanding wilayah dengan populasi lebih sedikit.

Perkotaan menyerap, meningkatkan, dan menyebarkan panas akibat dipenuhi aspal, beton, batu bata, dan atap berwarna gelap. Pendingin ruangan jadi juru selamat, tapi hanya untuk mereka yang mampu membelinya. Pemakaiannya secara massal pun secara tidak langsung membuat jalanan makin panas.

Pada 2030 Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan 60 persen warga dunia akan tinggal di area urban. Semakin padat kotanya, semakin panas suhunya. Contohnya di kota-kota di Asia Selatan, pada akhir abad ke-21 diprediksi akan mengalami peningkatan suhu yang melampaui batas toleransi tubuh manusia.

Infografik Bahaya Pemanasan Global
Preview


Menyiksa Penduduk Mesir hingga Filipina


Kembali ke laporan eksklusif Guardian, warga miskin di Kairo dan kota-kota lain di Mesir kini banyak yang tidak bisa membeli alat-alat pendingin udara karena subsidi listrik dicabut, sehingga biaya bulanannya melonjak.

Orang-orang menyebut tinggal di rumah sendiri “seperti berada di dalam oven”. Selama musim panas yang berlangsung lima bulan, suhu di Kairo mencapai 46 derajat Celsius. Kalah dalam perebutan ruang kota, situasinya makin menyiksa sebab rumah-rumah mereka dibangun secara pendek dan saling berdempetan satu sama lain.

Di ibukota Filipina, Manila, gelombang panas membuat warga kelas bawah tidak menikmati pendingin udara saat sedang mengurus kelahiran anak atau menjalani rawat inap di rumah sakit.

Dalam satu ruangan besar, di mana pasien tidur di ranjang-ranjang yang berdampingan, modal mendinginkan suhu hanya beberapa kipas yang menyala 24 jam. Kipas-kipas ini pun tak pernah bertahan lebih dari satu tahun pemakaian.

Di ibukota Yordania, Amman, gelombang panas membuat para pengungsi dari negara tetangga bak tinggal di kotak besi yang ditinggal begitu saja di tengah padang pasir. Maklum, tantangannya bukan yang perubahan iklim yang ekstrem, tapi juga ketidakstabilan politik di kawasan Timur Tengah.


Merrill Singer, profesor antropologi University of Connecticut, menulis di kanal The Conversation tentang isu pemanasan global sebagai isu kesenjangan ekonomi karena “mengancam penduduk kota, terutama minoritas dan orang miskin”.

Ia menyadur pendapat para pengamat lingkungan yang mengatakan orang-orang dari kelas ekonomi bawah terlalu fokus pada urusan bertahan hidup. Singer menyebutnya “tantangan-tantangan sosio-ekonomis”. Saking fokusnya, mereka akhirnya tidak terlalu perduli pada isu perubahan iklim.

Singer menentang pendapat tersebut. Berdasarkan riset yang ia jalankan, orang-orang dari beragam lapisan ekonomi sama-sama khawatir dengan efek pemanasan global, terutama yang mengancam nyawa. Mereka menginginkan kemampuan dan teknologi untuk ikut mengurangi resiko dari perubahan iklim yang  ekstrem.

“Temuan kami menunjukkan ada kebutuhan mendesak untuk menangkal perubahan iklim dengan memberikan suara kepada semua warga kota. Mereka juga menunjukkan pentingnya melakukan riset bersama elemen masyarakat yang akan jadi korban paling terdampak (warga miskin kota)” pungkasnya.
Baca juga artikel terkait PEMANASAN GLOBAL atau tulisan menarik lainnya Akhmad Muawal Hasan

populerRelated Article