Lika-liku Perjalanan Karier Rhoma Irama Bersama Soneta
Insiden penembakan Studio Soneta Record milik raja dangdut Rhoma Irama, Sabtu (3/3), mengejutkan banyak orang. Sebab, selama ini Rhoma dan grup musik Soneta miliknya tak tampak memiliki konflik dengan siapa pun.
Sudah hampir empat dekade Rhoma dan Soneta menghibur masyarakat Indonesia dengan puluhan album yang diciptakan. Tak hanya sukses di industri musik, Soneta juga berhasil menjadi salah satu grup musik dangdut yang menyebarkan pesan-pesan positif kepada masyarakat.Untuk mengenal lebih jauh, kumparan (kumparan.com) menyajikan sebuah napak tilas perjalanan karier Rhoma bersama Soneta.
Raden Haji Oma Irama atau yang lebih dikenal dengan nama Rhoma Irama adalah putra hasil perkawinan tokoh pejuang Indonesia, Raden Burdah Anggrawirya, dan Tuti Juariah. Ia lahir di Tasikmalaya, 11 Desember 1947.
Tumbuh dalam keluarga yang mencintai seni, Rhoma mendirikan grup musik pop bernama Gayhand pada 1963. Namun, upaya Rhoma menjadi musisi pop ternama rupanya kurang berhasil.
Lelaki yang pernah menyanyikan lagu ‘I Would Have Nothing’ milik Tom Jones dan memenangkan ajang Asian Pop Singer Festival 1972 di Singapura itu kemudian bergabung di sejumlah Orkes Melayu (OM), termasuk Chandraleka, El Sitara, Chandralela, dan Purnama.
Dari OM Purnama, Rhoma kemudian bertemu dengan Elvy Sukaesih yang nantinya akan menjadi salah satu pondasi pertama Soneta.
Seperti yang tertera dalam album Soundtrack film ‘Menggapai Matahari 1’, Rhoma menyatakan bahwa Soneta Group didirikan tanggal 13 Oktober 1973. Terbentuknya Soneta juga didasari atas keinginan Rhoma memadukan musik pop, rock, melayu, dan dangdut, serta menciptakan lagu-lagu yang bertema islami dan sosial sesuai semboyan ciptaannya, ‘Voice of Moslem’.
Dengan duet Rhoma dan Elvy semasa di OM Purnama yang sudah menggebrak industri musik Indonesia sejak satu tahun sebelumnya, terpilihlah tujuh pemusik pertama Soneta. Mereka adalah Nasir (mandolin), Hadi (suling), Herman (bas gitar), Kadir (gendang), Ayub (tamborin), Shihab dan Riswan (keyboard), juga Wempy (gitar).
Bersama Yukawi Indo Music, Soneta menelurkan album pertama berisi 10 lagu. Album berjudul ‘Soneta Volume 1 - Begadang’ itu dirilis pada 1973 di bawah naungan Remaco Records yang terkenal di era 70-an sebagai pengorbit berbagai musisi besar Indonesia, seperti Koes Plus, Bimbo, dan Edy Silitonga.
Dua tahun berselang, Elvy Sukaesih hengkang karena perbedaan visi. Ia digantikan oleh pedangdut Rita Sugiarto yang kala itu masih sangat belia. Sejak 1975, Soneta yang bergabung ke Yukawi Indo Musik bersama Rita merilis tujuh album, termasuk Soneta ‘Volume 4 - Darah Muda’ (1975), ‘Soneta Volume 7 - Santai’ (1977), dan ‘Soneta Volume 9 - Begadang 2’ (1978).
Pada 1976, Shahab, Herman, dan Kadir secara tiba-tiba hengkang dari Soneta. Ketegasan Rhoma menjauhi minuman keras, narkoba, dan seks bebas disinyalir menjadi alasan utama sang pemain keyboard, pembetot bas, dan penggebuk gendang itu mundur. Alhasil, saat menggelar konser, Rhoma terpaksa mengisi posisi sebagai vokalis dan pembetot bas, sementara posisi gendang diambil alih oleh personel baru bernama Ayub.
Satu tahun berselang, Rhoma menemukan Pongky dan Chovif untuk mengisi kekosongan posisi gitar bas dan gendang di tubuh Soneta. Berasal dari band rock bernama Gavilas asal Banyuwangi, Pongky dan Chovif membawa nuansa baru di musik ciptaan Soneta. Jika sebelumnya Soneta biasa mencipta musik pop melayu dangdut, karya-karya band legenda itu dalam album ‘Soneta Volume 7 - Santai (1977)' lebih sangar dengan nuansa rock funk dangdut.
Terus melesat, sang Satria Bergitar kemudian merambah industri musik internasional dengan mengajak serta penyanyi asal India bernama Nandani untuk merampungkan album ‘Soneta Volume 11 - Indonesia’ (1980). Tahun setelahnya, sang ratu dangdut Elvy Sukaesih kembali membantu Soneta dan menyanyikan beberapa lagu di album ‘Soneta Volume 12 - Renungan Dalam Nada’ (1981).
Banyak mempelajari dari industri musik Indonesia, Rhoma dan Soneta kemudian membentuk perusahaan rekaman sendiri yang diberi nama Soneta Records pada 1984. Demi menunjukkan rasa hormat pada kaum perempuan, Soneta dan label buatan mereka menelurkan album ‘Soneta Volume 13 - Emansipasi Wanita’ (1984).
Studio latihan dan rekaman Soneta Records penuh sejarah inilah yang pada Sabtu (3/3) pagi ditembaki oleh oknum tak bertanggung jawab dan masih diselidiki hingga saat ini.
Hanya saja, ‘Soneta Volume 13 - Emansipasi Wanita’ kurang laris di pasaran. Hal tersebut memaksa Rhoma dan Soneta rehat panjang hingga enam tahun untuk meramu kembali musik mereka dan mencari cita rasa baru dangdut yang tidak monoton namun tetap sarat unsur sosial dan agama.
Benar saja, rehat panjang yang mereka lakukan berbuah manis. Album ‘Soneta Volume 14 - Judi', ‘Soneta Volume 15 - Gali Lobang Tutup Lobang’, serta ‘Soneta Volume 16 - Bujangan’ yang dihasilkan setelah itu sukses menjadikan Soneta satu-satunya grup dangdut yang terus eksis dan produktif selama tiga dekade sejak era 70-an hingga 90-an di tengah perubahan drastis yang dialami industri musik Indonesia kala itu.
Tak hanya aktif menelurkan album, Soneta setia menjadi soundtrack pengiring puluhan film yang dibintangi Rhoma. Beberapa di antaranya ‘Perjuangan dan Doa’ (1980), ‘Satria Bergitar’ (1984), dan ‘Nada dan Dakwah’ (1991).
Berkat tingkat produktivitasnya yang tinggi, Soneta berhasil meraih Golden Record sebanyak 11 kali. Rhoma dan Soneta sempat pula menjadi objek penelitian William H. Frederick, doktor sosiologi asal University of Ohio, Amerika Serikat. Sementara itu, Rhoma mendapatkan gelar profesor bidang musik dari American University of Hawaii pada 2005.