Kisah Pemuda Palestina Lawan Israel dengan Musik Hip Hop
Sejumlah pemuda Palestina membentuk kelompok Hip Hop bernama ‘Palestine Street’ di Bethlehem untuk pertama kalinya sejak lebih dari satu dekade yang lalu. Musik Hip Hop ini digunakan sebagai salah satu cara untuk mengekspresikan perjuangan mereka di kamp pengungsi terbesar di kota ini.
Sekelompok pemuda tersebut terdiri dari Muhammad Azmi, Soud Hefawi, Diya Milhem, Hisham al-Laham, dan Ahmad Ramadhan. Di rumah mereka, kamp padat penduduk Dheisheh sering terjadi konfrontasi kekerasan dengan kelompok penargetan sistematis oleh pasukan Israel dari pemuda Palestina di kamp.
“Palestine Street” memulai rap pertama kali di dekat gedung bobrok di luar rumah Azmi. Daerah tersebut dikotori dengan tumpukan sampah kaca. Dindingnya berwarna dengan grafiti yang pernah melindungi mereka dari kelompok yang ditakuti.
“Orang-orang tidak menyukai (hip hop) pada awalnya karena mereka mengafiliasikan Hip Hop dengan budaya ‘bling-bling’” kata Hefawi, dikutip dari Aljazirah, Ahad (22/1).
“Tetapi kami menggunakan seni untuk berbicara jujur tentang kehidupan sehari-hari sebagai orang Palestina. Dengan rap, kami mengekspresikan rasa frustasi dan harapan kami. Orang-orang mulai berhubungan dengan kita dan melihat diri mereka dalam kata-kata kita,” ujarnya.
Ide membentuk kelompok hip hop ini datang dari kematian teman mereka, Qusay Afandi. Azmi mengatakan Afandi lebih banyak melemparkan batu kepada tentara.
“Ketika Anda melempar batu di tentara, Anda menuntut kehidupan yang lebih baik. Dan ketika kita menemukan hip-hop, kami menggunakan energi yang sama yang digunakan untuk menarik kita ke jalan untuk melempar batu,” kata Hefawi.
Saat ini, Azmi dan Milhem mulai memperkenalkan musik hip hop kepada semua perempuan di Dheisheh Kamp. Hal tersebut bertujuan untuk mengajarkan anak-anak berekspresi dan berbagi pengalaman pribadi sebagai gadis muda di kamp pengungsian Palestina.
Mereka bahkan mendorong pesan solidaritas dengan sesama warga Palestina melalui lirik lagu. Lagu mereka ‘An Institutional Wedding’ bercerita tentang politik anti-kekerasan beberapa LSM di Palestina.
“Setelah kami mampu menemukan suara kami melalui hip hop, kami mulai mengekspresikan diri dan berbicara tentang pengalaman sehari-hari di kamp. Masyarakat tidak menerima kita pada awalnya. Itu aneh bagi orang lain melihat gadis muda melakukan rap,” kata Sophie Aissa yang masih berusia 15 tahun.
“Sekarang bagaimanapun gadis-gadis lain ingin bisa rap seperti kita,” kata Sireen Khaled (16 tahun).
Sementara itu , Fatoom Shaheen (15 tahun) mengatakan ia ingin mendorong gadis muda lainnya untuk percaya pada diri mereka sendiri dan menunjukkan jika mereka dapat melakukan hal-hal itu.