Kisah Ikke Meliasari, Tunanetra Akibat Pakai Lensa Kontak
Perhelatan Asian Para Games sudah berlangsung sejak Senin, 8 Oktober lalu, dan akan hadir hingga Selasa, 16 Oktober mendatang. Di ajang ini, ada 18 cabang olahraga yang ditandingkan dan diikuti oleh sederet atlet difabel bertalenta dari beberapa negara.
Atlet-atlet Tanah Air pun mengerahkan segala tenaga dan kemampuan mereka untuk menyumbangkan medali-medali membanggakan agar semakin mengharumkan nama Indonesia. Keseruan Asian Para Games ini tentu tak kalah menarik dan meriah dari Asian Games 2018 yang berlangsung beberapa waktu lalu.Namun, bukan hanya para atlet difabel yang menyimpan beragam cerita. Sosok-sosok di ‘balik layar’ ajang ini tak kalah menarik untuk disimak. Salah satunya adalah Ikke Meliasari (44), seorang perempuan tunanetra yang memberikan jasa pijat kepada petugas yang membutuhkan selama di Asian Para Games 2018.
“Saya di sini sebagai terapis untuk daily worker. Tapi pengunjung, panitia, teman-teman ojek disabilitas, boleh ke sini dan akan saya pijat,” papar Ikke kepada kumparanSTYLE di kawasan Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta Pusat, Selasa (9/10).
Sehari-harinya, Ikke memang memiliki usaha pijat. Kliennya pun tersebar di penjuru kota. Ditambah, Ikke bergabung dengan salah satu mitra online ternama yang juga menyediakan jasa pijat.
Ikke bercerita bahwa kondisi tunanetra yang terjadi padanya bukanlah cacat lahir.
“Saya tunanetra yang terbilang baru, yaitu sejak 2009. Jadi, bukan tunanetra dari lahir. Bisa dikatakan ini disebabkan oleh kecelakaan atau tragedi,” tambahnya.
Semua berawal dari kondisi dirinya yang memiliki mata minus sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP). Memasuki masa-masa kerja, Ikke pun terpaksa harus menggunakan lensa kontak karena ia bekerja sebagai kasir di salah satu gerai multi nasional.
Sejak saat itu, lensa kontak menjadi bagian dari kebutuhan dan penunjang aktivitasnya sehari-hari. Semua berjalan baik-baik saja saat ia masih bekerja di perusahaan tersebut.
Namun, ternyata keadaan tak berjalan sesuai harapan dan keinginannya. Ikke berhenti bekerja sebagai kasir dan beralih untuk bekerja di tempat permainan biliar.
“Semua dimulai di tempat biliar ini. Tempat saya kerja dulu sangat penuh dengan asap rokok, belum lagi debu. Nah, saya selalu pakai lensa kontak, sehingga mata jadi sering merah sekali,” kenang Ikke.
Ikke bercerita, segala asap dan debu-debu kotor tersebut, membuat matanya menjadi iritasi dan sering terasa perih. Belum lagi dengan jadwal kerja yang padat, ia sering melalaikan perawatan kebersihan pada matanya.
“Jadi mungkin itu lensa kontak secara tidak langsung menjadi wadah kotoran berkumpul ya,” tambahnya.
Singka cerita, mulai di 2008, penglihatan Ikke menjadi tak karuan. Terkadang gelap, redup, lalu buram. Ia menggambarkan, kondisi penglihatannya seperti lampu yang akan putus.
Lalu di 2009, suatu ketika di tempat kerjanya, Ikke tak bisa melihat jarak di antara dirinya dan sebuah meja makan. Alhasil, ia yang sedang memegang piring, malah menaruh di ruang kosong antara Ike dan meja di hadapannya. Membuat piring-piring itu jatuh dan pecah berserakan.
“Dari situ tiba-tiba, PLEK. Mati total. Saya tidak bisa lihat apa-apa. Seperti lampu yang tiba-tiba padam,” kenang Ike.
Dalam ceritanya, Ikke seketika merasa dunianya seolah berhenti dan kehilangan arah. Sebagai seorang single mother, kesedihan mendalam memenuhi hatinya karena selama ini ia menghidupi sang anak sendirian. Kehilangan penglihatan, membuat Ikke depresi berat selama bertahun-tahun.
“Bisa dibayangkan, saya kerja dan hidup untuk anak. Saat itu anak saya berusia 3 tahun. Lalu tiba-tiba saya buta. Saya depresi selama tiga tahun dan hanya bisa menangis,” ceritanya.
Masa depresi tersebut menjadi masanya kehilangan arah dan selalu menyalahkan keadaan. Bahkan, Ikke pernah mengeluh secara berlebihan dan memohon untuk dipindahkan rasa sakitnya.
“Saya pernah mengeluh. Kenapa dari semuanya, mata saya yang diambil. Tiba-tiba, ini percaya atau tidak, keesokan harinya saya jadi tidak bisa berjalan. Saya menyesal dan beristighfar atas perkataan dan pikiran saya yang tak bersyukur itu,” papar ibu satu anak ini.
Kembali Menemukan Semangat
Meski begitu, kondisi kian membaik. Ikke mendapatkan kesempatan untuk mengoperasi mata kirinya di 2011. Kini, ia bisa melihat secara minim dan membuatnya lebih mudah untuk bergerak dan bekerja.
“Saya pakai lensa tanam sekarang. Bisa melihat sedikit dalam jarak tertentu. Meski yang kanan sudah mati dan gelap total,” tambahnya.
Pasca operasi, Ikke memberanikan diri untuk bertemu teman-temannya dalam sebuah reuni. Secara tak disangka-sangka, ia bertemu dengan seorang kawan yang mengajaknya untuk ‘bersekolah’ yang dikhususkan untuk penyandang tunanetra.
Selama tiga tahun Ikke belajar untuk menambah keterampilan dengan fokus ke bidang pijat, dan spa. Alhasil, kini ia memiliki banyak klien dan pasien tetap. Tentu, dengan penghasilan yang bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.
“Alhamdulillah, sekarang anak pun sudah berusia 12 tahun. Jadi dia bantu saya antar jemput. Pada akhirnya, yang penting saya sehat walaupun mata tidak normal. Namun bukan berarti harus berhenti berjuang,” papar Ikke.
Kini, Ikke sudah menerima segala kondisi yang terjadi pada dirinya. Baginya, yang terpenting ia bisa selalu ada untuk anaknya dan mengisi segala kebutuhannya.
“Saya sekarang lebih happy, karena semangat memang ada di anak, dan hanya untuk anak,” tambah Ikke.
Ikke pun berpesan kepada semua orang yang mengalami hal serupa seperti dirinya untuk tidak berputus asa dan harus tetap memiliki semangat.
“Semua sudah ada takdirnya, namun bukan berarti rejeki jadi berhenti. Akan selalu ada jalan untuk kita semua. Kita bisa meraih masa depan meski dengan segala keterbatasan,” tutup Ikke.