Kenapa Milenial Korea Selatan Boros? Karena Mustahil Beli Rumah
Ki-woo, anak muda Korea Selatan usia awal kepala dua, masih tinggal di rumah kumuh bersama orangtuanya. Ia sempat lama membantu ayah dan ibunya bekerja sebagai pelipat kardus pizza, sebelum akhirnya diterima kerja sebagai pengajar les bahasa Inggris di rumah sebuah kelurga kaya.
Saudara perempuan Ki-woo, Ki-jung, juga bekerja sebagai guru les menggambar di keluarga yang sama. Ayah dan ibu Ki-woo menyusul masing-masing sebagai sopir dan pelayan—masih di rumah tangga yang sama.
Sosok Ki-woo dan keluarga adalah karakter-karakter utama dalam Parasite, film karya Bong Joon-hoo yang baru memenangkan penghargaan Palme d'Or di Festival Film Cannes tahun ini.
Di dunia nyata, Ki-woo tentu tak sendirian. Kaum milenial kelas menengah Korea—yang notabene lebih berkecukupan dari Ki-woo—rentan mengalami nasib serupa. Mereka adalah kelompok sosial yang kesulitan mendapatkan pekerjaan, apalagi yang berpenghasilan cukup besar. Untuk meniti karier di perusahaan-perusahaan raksasa, anak muda Korsel harus bersaing keras dengan sesamanya.
Mereka pun mustahil sampai ke hirarki teratas dalam dunia kerjanya karena titan-titan bisnis negeri ginseng yang umumnya berbasis keluarga tak malu-malu mempraktikkan nepotisme. Pegawai baru yang tak punya hubungan darah ke lingkaran konglomerat bakal sangat sulit mencapai jabatan puncak perusahaan.
Pekan lalu (4/7), Foreign Policy menurunkan laporan panjang berjudul berjudul "Why Young Koreans Love to Splurge?" yang ditulis Jeongmin Kim, analis politik dari Seoul National University. Laporan itu mengutip Statistics Korea yang menyatakan bahwa pada 2015 sebagian besar milenial Korsel menganggap ketimpangan pendapatan sebagai masalah terbesar dalam hidup mereka.
Ada alasan mengapa Parasite jadi film terlaris di Korea saat ini. Iklim ekonomi negeri itu memang tidak sedang baik-baik saja. Terlebih buat kaum muda. Tak hanya mustahil beli rumah karena gaji yang rendah, mereka pun rentan terkena gangguan kesehatan mental yang tak jarang berakhir dengan bunuh diri.
"Hampir separuh jumlah kematian pada kelompok usia 20-an di Korsel disebabkan oleh bunuh diri," tulis Kim.
Awal 2019, Financial Times melaporkan bahwa per Desember 2018 tingkat pengangguran di Korsel mencapai titik tertinggi dalam sembilan tahun terakhir, yakni 4,4 persen. Pada 2010, masih dalam suasana krisis ekonomi 2008, tingkat pengangguran Korsel mencapai 4,7 persen.
Tren Shibal Binyong
Sebagian pemuda yang masih sehat dan ingin tetap hidup memilih menghamburkan uang dalam menikmati ‘kemewahan kecil’ seperti makanan mahal, berlibur sesuka hati tanpa perencanaan matang, hingga menelusuri kota dengan sarana transportasi mahal seperti taksi alih-alih naik bus atau kereta komuter.
Singkatnya, fenomena shibal biyong. Shibal artinya frustrasi, dan biyong pengeluaran. Istilah ini kerap digunakan anak muda Korsel untuk menyebut kegiatan menghambur-hamburkan uang demi menghilangkan stres akibat kondisi penuh tekanan di tempat kerja.
Frasa shibal biyong pertama kali muncul pada 2016 di media sosial Twitter. Hingga kini, catat Kim, linimasa #shibalbiyong berisi cerita-cerita tentang pengalaman milenial Korsel menghabiskan gaji mereka.
Mengapa mereka melakukan itu? Prinsipnya begini: karena gaji pas-pasan dan mustahil menabung—untuk beli rumah, mobil, atau mengumpulkan dana pensiun yang cukup—anak-anak muda Korsel memilih mengalokasikan uang untuk bersenang-senang.
Milenial Korsel umumnya menghabiskan $90 untuk sekali bersenang-senang. Lagi-lagi mimpi punya rumah atau investasi saham sama sekali tak rasional buat generasi ini. Menurut mereka, dua hal tersebut mustahil dilakukan. Pasalnya, ongkos kebutuhan hidup kian meningkat, sementara pendapatan terus stagnan.
Yang terjadi di Korsel sebetulnya bukan hal baru. Spekulasi gila-gilaan di bidang properti membuat harga hunian meroket di berbagai belahan dunia.
Kaum milenial Inggris punya kebiasaan serupa kawan-kawan mereka di Korsel. Laporan Aime Williams untuk Financial Times (12/2/16) menyebut bahwa definisi sukses bagi milenial Inggris adalah "ketiadaan utang". Sikap ini menandakan pergeseran yang cukup jauh dari pandangan generasi orangtua mereka yang beranggapan bahwa indikator kesuksesan adalah kepemilikan rumah dan karier melejit.
Pada 2014, Guardian mengabarkan sebagian besar anak muda Inggris hari ini lulus kuliah dengan utang cukup besar yang bisa mencapai $33.000 per orang.
Kaum milenial di negara tersebut percaya akan pentingnya pendidikan. Oleh karena itu mereka rela berutang demi mendapat gelar dari kampus. Tetapi sayangnya, gelar tidak bisa menjamin mereka mendapat pekerjaan dengan pendapatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Perusahaan manajemen aset asal Inggris T. Rowe Price menyatakan kepada Guardian bahwa milenial Inggris setidaknya harus bisa menabung 15% dari total penghasilan agar bisa menikmati masa pensiun dengan tenang. Kenyataannya, rata-rata dari mereka hanya mampu menabung 8% dari total gaji.
Menabung memang bukan prioritas bagi generasi ini.
“Milenial ingin menjalani hidup dengan cara yang menyenangkan,” kata Neil Saunders, managing director agensi riset konsumen Conlumino kepada Financial Times. Saunders meyakini anggapan tersebut adalah salah satu alasan mengapa milenial lebih tertarik berlibur ketimbang menabung guna membeli rumah.
Pendapat Saunders didukung oleh riset Eventbrite yang menyebut 78% milenial lebih suka menghabiskan uang untuk hal-hal yang mereka anggap bisa menambah pengalaman.
Di seberang Samudra Atlantik, pada Desember 2018 Atlantic melaporkan bahwa sejak 2014 jumlah milenial di Amerika Serikat yang memiliki mobil dan rumah terus menurun. Mereka juga punya beban serupa dengan sejumlah milenial Inggris: terbelenggu oleh utang pendidikan.
Jika di Korsel ada shibal biyong, apa yang terjadi pada milenial AS bagi Saunders adalah fenomena lawas "Kau Cuma Hidup Sekali" alias "You Only Live Once" (YOLO).
Baca juga artikel terkait POP KOREA atau tulisan menarik lainnya Joan Aurelia