Isu Penodaan Agama Membuat Menteri di Pakistan Mundur
Menteri Hukum Pakistan Zahid Hamid resmi mengundurkan diri dari jabatannya pada Senin (27/11/2017) kemarin. Mundurnya Hamid menjadi puncak dari ketegangan yang terjadi di Pakistan dalam beberapa waktu terakhir. Hamid dituduh melakukan penistaan agama dengan mengubah kata-kata sumpah jabatan pemilihan di hadapan parlemen.
“Keputusan untuk mengundurkan diri diambil dalam upaya guna mengarahkan negara keluar dari situasi krisis seperti yang sedang terjadi saat ini,” ujar Hamid seperti dikutip surat kabar Tribune Pakistan.
Kisah ini bermula dari upaya pemerintah menekan parlemen agar mensahkan UU Pemilu 2017 yang melarang pejabat pemerintah mengepalai partai politik.
Dalam hukum Pakistan, seorang pejabat disumpah untuk percaya pada finalitas kenabian Muhammad, bahwa tak ada lagi nabi yang diturunkan untuk menggantikannya. Namun dalam UU Pemilu 2017, kata-kata dalam sumpah jabatan dari "saya bersumpah" diganti jadi "saya percaya". Hamid diyakini sebagai orang yang bertanggungjawab mengubah redaksional sumpah tersebut.
Aslinya, sumpah tersebut secara lengkap berbunyi: “Saya bersumpah bahwa saya sepenuhnya dan tanpa syarat mempercayai finalitas Nabi Muhammad SAW (sebagai rasul terakhir) dan saya bukanlah pengikut siapapun yang, setelah Nabi Muhammad SAW, didaku/ditafsirkan sebagai utusan (Tuhan), dan saya tidak pula menerima orang tersebut sebagai utusan Tuhan.”
Respons keras datang dari kelompok-kelompok Islamis yang segera menggelar protes. Mereka beranggapan bahwa perubahan redaksional dalam sumpah jabatan Hamid sama saja dengan menghina Nabi Muhammad dan melunakkan posisi negara terhadap muslim Ahmadiyah yang dilarang mendaku sebagai bagian dari umat Islam.
Meski Hamid telah meminta maaf pada publik dan pemerintah menyatakan perubahan tersebut adalah kesalahan teknis, kericuhan tak bisa dihindarkan. Ribuan warga Pakistan turun ke jalan, mengepung ibukota selama berminggu-minggu dan meminta Hamid mundur dari jabatan. Dari ibu kota Islamabad, protes menyebar hingga Lahore, Peshawar, dan Karachi. Bentrokan dengan aparat dan korban jatuh tak terhindarkan. Sedikitnya enam orang meninggal dan 200 lainnya luka-luka.
Aksi-aksi tersebut dimotori oleh Partai Tehreek-e-Labbaik Pakistan (TLP). Partai yang didirikan untuk memerangi penistaan agama ini terbentuk sekitar masa persidangan terhadap Mumtaz Qadri, seorang yang divonis mati karena membunuh Gubernur Salman Taseer yang dalam berbagai pernyataan publiknya mengatakan ingin menghapus pasal-pasal penodaan agama. Eksekusi Qadri pada 2016, lima tahun setelah pembunuhan Taseer, memancing reaksi keras dari kelompok-kelompok Islamis yang segera memanfaatkan momentum tersebut untuk menggelar protes besar di beberapa kota. Qadri pun diangkat jadi martir.
Guna mengisolir protes-protes yang dikerahkan TLPP, pemerintah mengambil langkah dengan menekan kesepakatan dengan demonstran. Di antara isi kesepakatan tersebut adalah membebaskan pemrotes yang ditangkap dalam waktu tiga hari, pemerintah akan bertanggungjawab membayar kerusakan fasilitas akibat demonstrasi, melakukan penyelidikan internal soal perubahan redaksional sumpah jabatan, dan terakhir, Partai Tehreek-e-Labbaik Pakistan tidak menjatuhkan fatwa apapun terhadap Hamid.
Kesepakatan yang diteken dengan tujuan menghentikan konflik dalam negeri Pakistan mengundang kritik dari sejumlah pengamat. Analis politik Pakistan Zahid Hussain mengatakan bahwa kesepakatan antara pemerintah dan kelompok Islam bisa menjadi preseden berbahaya.
“Mereka mulai main hakim sendiri. Para mullah gampang protes dan bisa menuntut siapapun untuk mengundurkan diri. Ini kematian rasionalitas,” ujarnya kepada Guardian.
Relevansi Pasal Penodaan Agama
Keberadaan pasal penodaan agama di Pakistan tak bisa dilepaskan dari modifikasi hukum kolonial Inggris di India pada tahun 1927 yang menegaskan “tindakan kebencian yang disengaja, dimaksudkan untuk melukai perasaan religius dari setiap kelas dengan cara menghina keyakinan agama.”
Masalah penodaan agama di Pakistan sendiri diatur dalam Pasal 295C KUHP. Pasal tersebut menjelaskan mereka yang dengan kata-kata (lisan atau tulisan) maupun representasi visual melakukan sindiran, rujukan, serta insinuasi secara langsung dan tidak langsung menghina Nabi Besar Muhammad SAW akan dihukum mati, dipenjarakan seumur hidup, hingga dikenakan denda.
Walaupun Pakistan telah dari India, pemerintah masih menerapkan pasal ini. Seiring berjalannya waktu, keberadaan pasal penodaan agama digunakan untuk menyasar minoritas, membungkam kebebasan berpendapat, dan mendiskreditkan pihak-pihak yang tidak disukai. Menurut catatan BBC, sampai 2014 terdapat 633 warga muslim, 494 Ahmadiyah, 187 Kristen, hingga 21 Hindu telah didakwa menghujat agama sejak 1987. Total ada 4.000 kasus penistaan yang dilaporkan ke kepolisian. Mengutip harian Pakistan Dawn, penggunaan pasal penodaan agama terbanyak telah terjadi di tujuh wilayah: Lahore, Kasur, Faisalabad, Sheikhupura, Sialkot, Gujranwala, dan Toba Tek Singh.
Sementara itu, Al Jazeera melaporkan sejak tahun 1990 kelompok-kelompok sayap kanan telah main hakim sendiri dengan membunuh sedikitnya 69 orang. Korban aksi-aksi liar ini tidak sebatas individu yang menghina agama melainkan juga menyasar pengacara, kerabat, hakim, sampai masyarakat setempat.
Parveen Akhtar, pengajar ilmu politik Universitas Aston, Birmingham, Inggris menjelaskan bahwa undang-undang yang terinspirasi agama masih digunakan sebagai alat represi politik terhadap kelompok minoritas agama. Menurut Parveen, undang-undang penodaan agama di Pakistan sudah usang dan tidak sesuai dengan situasi saat ini. Pembaruan perlu dilakukan agar hukum tak digunakan sebagai alat politik.
Dalih Penodaan Agama untuk Unjuk Kekuatan Politik
Berdasarkan laporan Setara Institute, sepanjang 1965 sampai 2017 telah terjadi 97 kasus penistaan agama di Indonesia. Dari total jumlah tersebut, jumlah kasus penistaan agama justru naik pasca tumbangnya Orde Baru. Setara Institute mencatat, sebelum reformasi hanya ada 9 perkara. Akan tetapi membengkak menjadi 88 kasus setelah reformasi.
Regulasi yang mengatur penodaan agama di Indonesia terdapat dalam UU No. 1/PNPS/1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Pasal 1 dalam undang-undang tersebut menyatakan bahwa setiap orang dilarang melakukan penafsiran tentang agama di Indonesia atau melakukan kegiatan keagamaan yang menyerupai ajaran pokok agama tertentu. Jika melanggar, hukuman pidana 5 tahun sudah menanti.
Kehadiran Pasal 1 juga diperkuat dengan pasal baru dalam KUHP yakni Pasal 156a. Dalam pasal itu, dinyatakan pelaku penodaan agama dapat dipidana penjara paling lama 5 tahun untuk perbuatan-perbuatan semacam menghasut dan memusuhi agar orang lain tidak menganut agama yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pembicaraan mengenai penodaan agama di Indonesia tentuk tak bisa lepas dari kasus mantan Gubernur Jakarta, Basuki Tjahja Purnama alias Ahok. Setahun lalu, Pilkada DKI Jakarta diramaikan tiga pasangan calon: Agus Harimurti Yudhoyono, Basuki Tjahja Purnama, dan Anies Baswedan. Secara matematis, Ahok yang berstatus petahana dijagokan menang. Modalnya banyak: dianggap paham banyak Jakarta dan membawa perubahan tata kelola di dalamnya.
Namun menjelang masa kampanye, Ahok tersandung kasus penistaan agama. Ia dianggap menodai Islam karena mengutip ayat Surat Al-Maidah untuk senjata kampanye kala sedang berada di Kepulauan Seribu. Seketika, kelompok-kelompok Islamis mampu menggerakkan ratusan ribu orang memprotes Ahok, menuntutnya agar diproses secara hukum dan dipenjarakan.
Walaupun Ahok sudah meminta maaf secara terbuka, nasib baik tak serta merta datang. Majelis Ulama Indonesia menyatakan Ahok telah menistakan Islam. Selama 2016 tercatat tiga kali penyelenggaran "Aksi Bela Islam"—kelak dikenal dengan nama Gerakan 212—yang digawangi Gerakan Nasional Fatwa MUI (GNF-MUI). Tuntutannya: "Penjarakan Ahok".
Walhasil, di tengah kuatnya tekanan politik kelompok Islamis, Ahok benar-benar harus membela diri di meja hijau. Pada 9 Mei 2017, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara memvonisnya dua tahun penjara. Ahok dikenakan pasal 156a KUHP tentang penistaan agama dengan maksimal hukuman 5 tahun penjara. Vonis dua tahun penjara tersebut lebih berat dibanding tuntutan jaksa yang meminta hakim menjatuhkan hukuman penjara selama satu tahun dengan dua tahun masa percobaan.
Chris J. Chaplin, peneliti dari KITLV (Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies) berpendapat bahwa tumbangnya Ahok tidak bisa dilepaskan dari pergerakan militan kelompok-kelompok Islam yang menentangnya. Bagi Chaplin, kelompok Islam menjadi konduktor menyebarnya perlawanan terhadap Ahok.
Tahun 2016 dan 2017 menjadi momentum bagi kelompok Islamis di Indonesia. Aksi-aksi "Bela Islam" perlahan meraih simpati dari publik, anggota parlemen, partai politik, hingga pebisnis maupun birokrat. Tepat pada titik itu, isu "penistaan agama" mudah digunakan oleh siapapun untuk menjatuhkan lawan politik.
Rizky Alif Alfian, peneliti Hubungan Internasional Universitas Gajah Mada menyatakan bahwa kelompok-kelompok Islamis berupaya memperjuangkan aspirasi politik mereka lewat jalur-jalur demokratis untuk mengatasi keterkucilan politik mereka. Berangkat dari argumentasi kebebasan berpendapat, kelompok Islam-politik menggunakan repertoar pawai dan demonstrasi untuk menyuarakan tuntutannya.
Kelompok Islam-politik menggunakan jalan demokratis dalam menyuarakan tuntutannya demi membangun reputasi di hadapan masyarakat yang kurang peduli dengan isu-isu seperti penegakan hukum syariah. Setelah reputasi membaik, terlebih dalam kasus penodaan agama yang dilakukan oleh Ahok yang ditentang dengan cara-cara yang tidak mengumbar kekerasan fisik, kelompok Islam-politik menyasar target lebih signifikan: konstelasi politik nasional. Dan target itu bisa dikatakan tercapai tatkala Anies Baswedan dan Sandiaga Uno yang mereka dukung dalam ajang pilkada DKI memenangkan pertarungan.
Baca juga artikel terkait DUGAAN PENODAAN AGAMA atau tulisan menarik lainnya M Faisal Reza Irfan