Iqro My Universe: Imajinasi Keseimbangan Sains-Iman ala Iptek-Imtaq
-
Pada permulaan film, Aqila (Aisha Nurra Datau) langsung mengungkap alasan mengapa ia bercita-cita menjadi astronot: umur manusia dan sumber daya alam di bumi terbatas, sehingga umat manusia perlu mencari tempat tinggal di planet lain.
Ambisius. Tapi kita tahu itu ide utama film Interstellar (2014), petualangan luar angkasa epik karya Christopher Nolan. Sementara Iqro My Universe berfokus pada perjuangan Aqila, seorang siswi SMA yang ingin memenangkan lomba vlog dengan hadiah kunjungan ke pusat penelitian luar angkasa di Inggris.
Aqila menganggap kemenangan lomba yang diselenggarakan oleh LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional) itu akan memudahkan ikhtiar menggenggam cita-cita. Ia pun berencana membuat profil tentang ilmuwan yang berkecimpung di dunia riset luar angkasa.
Aqila teringat kerabat sekaligus “sahabat sains”-nya, Opa Wibowo (Cok Simbara). Opa bekerja sebagai astronom dan tinggal di Observatorium Bosscha. Sayangnya, di waktu yang bersamaan, Opa mesti dinas sementara ke London.
Kekecewaan yang dirasakan Aqila tidak berlangsung lama. Kakaknya, Raudah (Adhitya Putri), mengirim buku biografi tentang astronot perempuan Indonesia sekaligus ilmuwan yang sedang menelisik budidaya tanaman di luar angkasa. Namanya Tsurayya (Maudy Koesnaedi).
Keesokan harinya Aqila mendatangi diskusi buku karena Tsurayyah dipastikan hadir. Barangkali karena belum kenal tapi tiba-tiba mengajak kolaborasi, Tsurayya diam dan tampak terganggu.
Aqila belum menyerah. Ia kemudian mendatangi laboratorium penelitian Tsurayya. Sang astronot tipikal perempuan yang kaku dan tegas. Ia tidak segera menyanggupi permintaan Aqila. Tapi memberinya sejumlah tes ketahanan fisik hingga kemampuan sains dasar—modal utama menjadi astronot.
Lebih penting lagi, Tsurayya sebenarnya sedang memberi penjelasan bahwa tugas astronot lebih dari sekedar “melihat luar angkasa tanpa teropong” sebagaimana yang diungkapkan Aqila.
Selanjutnya, film menampilkan lika-liku pembuatan vlog yang Aqila sadari tidak semudah teori. Disinggung pula komunikasinya dengan orang tua, Opa, kerabat, dan dampak pembuatan vlog terhadap performa akademiknya di sekolah.
Kesan pertama saat menonton film yang disutradarai Iqbal Afjari ini adalah kentalnya nuansa Islami dari berbagai aspek. Judulnya saja mengandung kata “iqro”, yang dalam bahasa Arab berarti “bacalah”.
Lalu dari segi penampilan. Aqila bersekolah di institusi islam yang maju tradisi ilmiahnya. SPP-nya saya bayangkan mahal. Tapi ini tidak jadi masalah bagi keluarga Aqila yang tergolong kelas menengah-atas. Seluruh siswinya memakai jilbab syar'i, kerudung lebar-langsungan yang menutupi dada.
Seluruh perempuan di keluarga Aqila juga mengenakan pakaian muslimah serupa—bahkan saat sedang berada di dalam rumah. Sementara ayah Aqila [diperankan oleh Ben Kasyafani], Opa Wibowo, dan sejumlah karakter pria lain juga digambarkan mengenakan baju koko.
Satu-satunya pemeran yang tak mengenakan jilbab adalah Tsurayya. Namun, penonton sudah bisa menebak agama, karena Tsurayya mengucapkan “assalamualaikum” saat memulai diskusi dan menghentikan obrolan bersama Aqila saat adzan Ashar berkumandang.
“Assalamualaikum”, “Insya Allah”, menjadi kata-kata yang sangat sering diucapkan para pemeran saat baru bertemu dan selama mengobrol, baik dalam komunikasi langsung maupun lewat video call. Ini ciri ke-Islami-an film selain pemakaian kata “shaum” untuk menyebut puasa.
Elemen-elemen Islami tersebut bisa disimpulkan sebagai hasil dari kerja sama antara dua pihak yang masuk di tim produksi: Yayasan Pembina Masjid (YPM) Salman ITB dan Salman Film Academy.
Kebijakan yang sah, tentu saja, terutama jika menjadi bagian dari idealisme yang punya modal. Tapi, jika bicara dari segi teknis, film ini tidak bersetia dengan eksplorasi perjuangan Aqila karena sepertiga durasi terakhir justru menyorot kisah Fauzi.
Fauzi adalah saudara Aqila yang berkebalikan nasib. Ayahnya, Bang Codet (Mike Lucock), seorang preman lugu yang bahkan tidak menyadari saat dirinya terjerumus aksi kriminal selama menjalani pekerjaan antar-jemput barang.
Upahnya tidak seberapa. Rumah mereka berbentuk satu ruangan sempit di ujung sebuah gang.
Tapi Fauzi bertekad melanjutkan studi di pesantren kenamaan.
Obsesinya sebesar cita-cita Aqila menjadi astronot. Mengingat kondisi finansial ayahnya tidak memadai, satu-satu alternatif adalah dengan meraih beasiswa penuh.
Pengalihan ke kisah Fauzi membuat film kedodoran fokus. Tapi, barangkali ia diperlukan untuk mewujudkan misi utama film: imajinasi keseimbangan antara prestasi sains dan kualitas iman. Antara logika dan keyakinan relijius. Antara rasionalitas dan irasionalitas.
Ide ini berkaitan erat dengan Iptek-Imtaq (Ilmu Pengetahuan & Teknologi-Iman & Taqwa), konsep klasik yang masih diperbincangkan dalam wacana pendidikan Indonesia.
Tokoh-tokoh seperti BJ Habibie mempromosikan Iptek-Imtaq sebagai dasar-dasar penerapan nilai Pancasila dan syarat mencapai ketahanan nasional yang kokoh.
Implementasinya dibagi menjadi tiga: agama (relijiusitas), budaya (peduli nilai kultural bangsa), dan ilmu pengetahuan (intelektualitas).
Promosi Iptek-Imtaq kerap dibalut sindiran seperti yang diungkapkan Habibie, bahwa "orang yang hebat imtaqnya tapi tidak tahu iptek, dia tidak akan mampu menolong dirinya sendiri. Sebaliknya, orang yang ipteknya saja tetapi tanpa imtaq, bahaya, dia akan halalkan semua cara," kutip Kompas.
Konsep ini serupa Pancasila, sebuah jembatan antara sekularisme dan relijiusitas. Tawaran kompromistis agar seseorang tidak berjalan terlalu ekstrem di salah satu jalur. Pelajar Indonesia yang ideal, dengan demikian, adalah yang prestasi sainsnya baik tapi kualitas imannya juga terpuji.
Idealisme itu sebenarnya sudah terwakili dalam diri Aqila. Di luar obsesinya menjadi astronot, prestasi akademiknya tergolong baik. Pada permulaan film ia ditampilkan mengikuti Festival Sains—meski kalah dari siswi baru dengan gaya bicara keminggris (simbol dominasi sains Barat?).
Itu aspek Ipteknya. Untuk segi Imtaq, Aqila menghabiskan waktu sehabis sahur untuk mengaji. Jilbab syar’inya tak pernah lepas. Pada dasarnya ia anak remaja yang patuh pada kedua orang tua (kecuali saat terlalu asyik bikin vlog sampai lupa peer), peduli pada nasib kerabat (Fauzi), dan hormat kepada saudara yang dituakan.
Agaknya tim produksi menganggap Aqila belum cukup Imtaq. Oleh sebab itu mereka menghadirkan Fauzi sebagai representasi remaja dengan kualitas iman dan taqwa yang lebih mumpuni.
Selain berkarakter khas remaja pesantren, Fauzi digambarkan memiliki kemampuan membaca Al-Quran yang “sangat luar biasa”, mengutip laman resmi film.
Kemampuan ini bahkan mendapat durasi cukup panjang, antara empat hingga lima menit, dalam adegan Fauzi melantunkan QS Ar Rahman ayah 1-18 di hadapan uztadnya (diperankan Muzammil, qari muda alumnus ITB).
Tak cukup sampai situ, elemen Imtaq dalam film turut disuguhkan melalui para figuran. Contohnya oleh kakak ipar Aqila atau suami Kak Raudah. Namanya Kak Muklis. Penampilannya Islami, terlihat dari baju koko yang dikenakan saat berada di rumah plus jenggot lebat sesuai sunah Nabi.
Ada adegan di mana Aqila mampir ke rumah Kak Muklis dan Fauzi juga sedang bertamu di sana. Pada saat mengobrol di ruang tamu, Kak Muklis memberikan sejumlah wejangan.
Kepada Fauzi ia mengingatkan agar selalu mengutamakan hafalan Al Qur’an dan mengembalikan segala usaha kepada Allah SWT.
Kepada Aqila ia bertanya siapa astronot pertama dari bumi. Aqila menjawab Yuri Gagarin, astronot asal Uni Soviet. Kak Muklis mengoreksinya melalui jawaban paling menarik serta turut ditampilkan dalam trailer film: “Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam”.
Kak Muklis menjelaskan konteksnya adalah Isra Mi’raj, kisah perjalanan Nabi Muhammad menuju langit ketujuh untuk menerima perintah salat dari Allah SWT. Kejadian tersebut terjadi pada suatu malam tertanggal 27 Rajab.
Pernyataan tersebut tentu akan memancing diskursus panjang, tergantung persepektif yang dipakai, dan kerap berakhir sebagai debat kusir.
Tapi fokus film ini bukan pada pancingan kontroversi, melainkan upaya menarik penonton yang percaya bahwa sains dan agama (Islam) bukan dua hal yang bertolak belakang. Keduanya bisa diseimbangkan melalui beragam cara. Misalnya saran BJ Habibie: Iptek-Imtaq solusinya.
Baca juga artikel terkait FILM IQRO atau tulisan menarik lainnya Akhmad Muawal Hasan