Hidup Bertetangga Tak Pernah Sederhana
-
Hidup bertetangga memang tak pernah sederhana. Ini pernah ditulis sastrawan Yusi Avianto Pareanom dalam salah satu cerpennya, "Dari Dapur Bu Sewon".
Alkisah, tokoh kita punya tetangga bernama Bu Sewon. Perempuan yang sekaligus pemilik rumah kontrakan yang dihuni tokoh utama ini suka memasak. Sayang, masakannya abstrak dan tidak enak. Tokoh kita dan istrinya merasa mereka jadi subjek eksperimen memasak Bu Sewon, sebab makanan yang diantar tak pernah beres.
"Ada kue lapis hambar, martabak mblenyek, klepon asin, ayam goreng tepung yang tepungnya setebal bantal bayi, dan paling spektakuler adalah makanan dengan tekstur ganjil yang layak disebut sebagai anak haram hubungan gelap getuk dan tiwul."
"...aku mengunyah kiriman racikan sayur Bu Sewon yang rasanya mengingatkanku pada pertarungan Muhammad Ali melawan Joe Frazier di Manila. Brutal."
Sepasang suami istri apes ini juga kebingungan karena Bu Sewon amat gemar mengantar makanan buatannya itu. Apalagi ketika bulan puasa tiba, nyaris setiap hari Bu Sewon mengirimkan makanan. Ini jelas bikin repot. Mau ditolak, kok tidak sopan. Kalau diterima, ya pasti akan berakhir di tong sampah. Maju kena, mundur kena.
Tapi kehidupan bertetangga yang dikisahkan Yusi masih mending. Setidaknya Bu Sewon adalah tetangga yang baik hati.
Yang bikin geram kalau kamu punya tetangga orang-orang beringas. Ini terjadi pada sepasang kekasih Mia Audina dan Ryan Aristia. Mia mengontrak rumah petak di Desa Kadu, Cikupa, Tangerang. Suatu ketika, Ryan mengantarkan makanan bagi Mia yang bekerja sebagai buruh pabrik sepatu. Tak lama kemudian, datang Ketua RT dan Ketua RW beserta gerombolannya lalu menuduh pasangan ini berbuat mesum.
Pak RT dan orang-orang gelap mata ini lantas memukuli Ryan berkali-kali, menelanjangi mereka, mengarak keliling kampung, merekamnya, lalu menyebarkan videonya. Tak cukup tindakan yang merendahkan martabat manusia itu, gerombolan ini mempersilakan orang-orang yang menonton untuk memotret, merekam, atau mengambil swafoto dengan Ryan dan Mia yang nyaris telanjang bulat.
Kejadian ini berbuntut panjang. Dua-duanya mengalami luka fisik, juga trauma. Akhirnya mereka berdua menuntut ke pengadilan. Setelah melewati proses pengadilan, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tangerang menjatuhkan hukuman lima tahun penjara bagi Toto, sang Ketua RT yang dianggap sebagai otak di balik aksi persekusi ini. Sedangkan para gerombolannya divonis dua tahun.
Ryan dan Mia yang menikah tak lama setelah aksi persekusi ini tidak memberikan maaf bagi gerombolan pelaku. Trauma mereka terlalu besar.
Kalau apes mendapatkan tetangga brengsek seperti yang dialami Ryan dan Mia, maka apa yang dikatakan oleh George Bernard Shaw layak dijadikan panduan. Novelis cum satiris terkemuka asal Irlandia itu pernah berujar: Kalau mau melukai tetanggamu, lebih baik jangan setengah-setengah.
Anek Macam Konflik Bertetangga
Hingga sekarang masih terjadi perdebatan kapan sebenarnya Homo sapiens berevolusi menjadi manusia modern yang kita kenal. Sejumlah sumber mengatakan evolusi itu terjadi 800 ribu tahun lalu saat manusia menciptakan api. Kehadiran api membuat para Homo erectus berkumpul di sekelilingnya, memasak hasil buruan, menghangatkan diri, sembari berkisah dan berbagi informasi. Ini awal kehidupan sosial yang dikenal.Teori lain tentang evolusi umat manusia pernah dibicarakan oleh Richard Klein, antropolog dari Universitas Stanford. Dalam laporan di The New York Times, Klein mengatakan 50 ribu tahun lalu otak manusia mengalami mutasi genetik yang memungkinkan "perkembangan pesat dalam berbicara." Kemampuan komunikasi yang berkembang ini lantas membuat manusia bisa melakukan banyak hal baru. Mulai dari menciptakan piranti-piranti hingga membuat sistem sosial yang kompleks.
Sistem sosial ini kemudian berkembang. Dari klan, ke komunitas, lalu ke puak, lalu ke apa yang sekarang disebut negara dan bangsa. Tentu saja, berkumpulnya manusia yang berbeda-beda ini melahirkan dua sisi yang berlawanan. Di satu sisi, koloni manusia bisa melahirkan kolaborasi. Di lain sisi, bisa pula muncul kompetisi, dan pada akhirnya konflik.
Itu juga terjadi pada salah satu bentuk paling mikro kehidupan sosial: bertetangga.
Sudah tak terhitung lagi konflik karena kehidupan bertetangga. Dari perkara sepele seperti rasa iri hingga perkara besar semisal sentimen agama. Dari kasus tetangga ditusuk, kasus persekusi di Tangerang, hingga kerusuhan di Tanjung Balai.
Sosiolog Universitas Indonesia Daisy Indira Yasmine mengatakan perubahan sosial dan budaya bisa menjadi salah satu faktor pemicu konflik bertetangga. Laiknya kehidupan sosial, potensi konflik akan selalu ada dalam bertetangga. Namun, tak semua konflik itu berakhir dengan kekerasan.
"Perbedaan demografi bisa menjadi potensi konflik, laki-laki dan perempuan, tua dan muda, apalagi kaya miskin dan status sosial. Karena setiap status itu akhirnya menciptakan kepentingan berbeda dalam hidup satu komunitas," kata Yasmine.
Yasmine menuturkan kehidupan bertetangga nyaris mustahil sonder konflik. Namun, konflik itu bisa diminimalisir, misalkan dengan sistem pengorganisasian sosial yang baik. Sistem ini bisa mengatur norma-norma yang disepakati bersama. Atau, kalau sudah terjadi konflik, maka diselesaikan dengan pelbagai macam mekanisme yang tersedia. Salah satu yang paling umum adalah forum Rukun Tetangga dan Rukun Warga.
Ini yang dialami oleh Shahnaz Apsari dan beberapa warga Perumahan Panji Laras Indah, Jember, Jawa Timur. Beberapa bulan lalu, seorang warga pindahan resmi berdiam di perumahan. Dia juga membeli sebidang tanah tepat di belakang perumahan. Di sana, sang warga baru ini membuat kolam lele. Ternyata kolamnya tidak dibuat dengan benar hingga limbahnya langsung masuk ke tanah, membuat air tanah tercemar dan berbau menyengat. Padahal warga di sana masih mengandalkan air tanah, bukan air pasokan PDAM.
"Akhirnya aku dan beberapa orang tetangga mendatangi warga baru ini. Kami protes limbah lele yang bikin air jadi bau," ujar Shahnaz.
Namun, ternyata pendatang baru ini cuek dan tak memperbaiki saluran pembuangan air. Warga pun kesal dan mengadukannya ke Ketua RT. Beberapa hari kemudian, diadakanlah rapat RT yang mengundang penduduk baru. Di sana mereka membahas penyelesaiannya dengan santai tapi serius. Akhirnya, pendatang baru ini memilih untuk menutup kolam lelenya.
Kasus serupa tapi lebih parah dialami oleh Nurbaiti, warga Desa Lamlagang, Banda Aceh. Hubungan dengan tetangganya buruk karena Nurbaiti tak membangun tembok pembatas dan pagar. Tetangga kanan kiri kerap memaki dan menyalahkan Nurbaiti jika tembok rumah mereka kotor. Karena permusuhan ini, Nurbaiti sempat tak bertegur sapa dengan sang tetangga selama dua tahun.
Suatu hari, Nurbaiti ingin membangun tembok pembatas. Seorang tetangga mengamuk karena tembok itu berdempetan dengan pembatas dinding rumahnya. Nurbaiti bergeming. Perempuan asal Bireun ini sebelumnya sudah mengukur luas tanah rumahnya. Di sertifikat tanah yang dikeluarkan Badan Pertanahan Nasional Aceh, tertera luas 200 meter persegi. Namun, ketika diukur, tanahnya hilang sekitar setengah meter karena dipakai jadi pagar dan garasi rumah si tetangga.
"Tetangga minta saya buat pagar dindingnya tidak dempet, sementara tanah saya diambil untuk bangunan dia," kata Nurbaiti
Nurbaiti kemudian melaporkan kepada kepala lorong (RT) dan lurah Lamlagang. Ia menceritakan semua konflik dengan tetangganya seraya menyertakan bukti sertifikat. Sebenarnya ia enggan kasus ini melebar karena ingin hidup rukun dengan tetangga. Namun, tingkah tetangga yang semena-mena selama kurang lebih lima tahun memaksanya melaporkan kasus ini. Ia juga memberikan ultimatum pada tetangganya: semisal tak minta maaf, ia akan mendatangkan BPN dan kepolisian untuk menyelesaikan kasus.
Ancaman itu membuat tetangganya ciut. Alhasil, tetangganya mendatangi rumah Nurbaiti untuk meminta maaf. Sang tetangga, klaimnya, secara sadar mengakui ada sedikit tanah yang diambil untuk bangun pagar dan garasi rumahnya. Akhirnya, Nurbaiti tak memperpanjang kasus itu. Ia menilai permintaan maaf itu sudah cukup.
Shahnaz dan Nurbaiti adalah contoh warga yang menyelesaikan konflik melalui mekanisme musyawarah. Shahnaz melalui forum RT, dan Nurbaiti melalui mekanisme adat yang mengatur mediasi konflik melalui bantuan kepala lorong, lurah, dan tuha peut (badan permusyawaratan desa yang terdiri empat tokoh desa-legislatif).
'Biaya Sosial Menjadi Modern'
Mohammad Sobary, pengamat sosial-budaya dari Universitas Indonesia, mengatakan urusan hukum merupakan mekanisme terbaik dalam urusan formal kenegaraan dan pengembangan demokrasi. Namun, untuk urusan bertetangga dan urusan informal, maka "mekanisme adat" lebih baik.
Menurutnya, mekanisme adat tidak tertulis dan tak punya pasal-pasal, tetapi punya ingatan kolektif yang ramah dan bersaudara. Mekanisme ini, lanjut Sobary, tak membiarkan dua pihak yang bertikai berhadapan satu dengan lainnya.
"Tiap muncul masalah semua warga hadir, semua warga bertanggung jawab. Tiap masalah diselesaikan secara bersama dan tak ada kata kalah-menang. Corak pemecahan masalah begitu adil dan win win solution yang melegakan semua pihak," kata Sobary kepada Tirto melalu pesan WhatsApp.
Namun, Sobary memberikan catatan: kondisi hubungan bertetangga di Indonesia sudah berubah.
Kini semua kepentingan hidup diatur berdasarkan tatanan hidup yang bersifat kontraktual. Sekarang, terutama di kota besar, hubungan bertetangga kerap bersifat formal, berisi banyak kecurigaan, tak ramah, dan tak peduli. Masyarakat di perumahan modern juga alpa soal memori kebersamaan dan defisit cara bersama menyelesaikan masalah. Tiap urusan dianggap urusan pribadi masing-masing sehingga tiap ada masalah bertetangga, mereka menyelesaikan dengan mekanisme hukum.
"Ini harga yang harus kita bayar untuk menjadi modern. Semua negara di dunia pernah mengalami ini," kata Sobary.
Sementara Yasmine mengatakan peran RT/RW dalam menyelesaikan konflik bertetangga kini mulai terkikis maknanya beriring perkembangan zaman. Menurutnya, peran RT/RW di perumahan modern sebatas pengurus administrasi, kependudukan, dan pengutipan iuran kebersihan lingkungan. Ini terjadi di banyak lingkungan urban di Indonesia.
Hal itu sedikit berbeda dari konsep RT/RW di daerah. Biasanya, yang menjabat sebagai Ketua RT maupun Ketua RW biasanya tokoh masyarakat yang dihormati, berwibawa, dan disegani. Mereka bisa jadi penengah jika ada konflik antar-tetangga, seperti yang terjadi pada kasus Shahnaz dan Nurbaiti.
Di Jakarta dan sekitarnya, khususnya di perumahan modern, definisi RT/RW mulai kehilangan makna dan martabatnya. Di Tangerang, misalnya, Ketua RT dan Ketua RW malah jadi pelaku persekusi.
Baca juga artikel terkait CEKCOK TETANGGA atau tulisan menarik lainnya Nuran Wibisono