Gawai dan Internet, Bentuk Kekerasan Baru Terhadap Anak
Menjelang Hari Anak Nasional yang jatuh pada 23 Juli, bentuk kekerasan baru terhadap anak telah bertransformasi. Apabila sebelumnya kekerasan terhadap anak terlihat secara kasat mata dengan bentuk kekerasan fisik, kini tidak lagi. Kekerasan terhadap anak berubah bentuk, tak terlihat, dan bahkan tidak disadari oleh para orang tua.
Ketua Komnas Perlindungan Anak (Komnas PA), Arist Merdeka Sirait, mengatakan, saat ini bentuk baru kekerasan terhadap anak berwujud gawai (gadget) dan internet (media sosial). Hal ini terbukti dengan 21 laporan dari masyarakat, khususnya ibu-ibu, yang mengatakan anak mereka menjadi korban ketergantungan gawai.Usia anak yang mengalami ketergantungan terhadap gawai dan internet itu, rata-rata berusia di bawah lima tahun atau balita.
"Bentuk ketergantungan anak terhadap gawai ditunjukkan jika anak dilarang menggunakannya, anak akan bertindak agresif seperti berteriak-teriak, menangis, menjerit, bahkan melempar barang apa saja yang ada di dekatnya. Namun jika anak diberikan akses menggunakannya (gawai), secara spontan anak akan diam," ujar Arist dalam keterangan resmi yang diterima kumparan, Sabtu (21/7).
Kekerasan secara 'tersembunyi' itu, membuat Komnas PA melakukan pemeriksaan terhadap 21 anak yang dilaporkan. Ironisnya, 2 dari 21 anak yang dilaporkan, jika dilarang dan dibatasi menggunakan gawai atau handphone, anak tersebut akan mengancam ibunya dengan cara membenturkan kepala mereka ke tembok.
"Itu artinya gawai atau media sosial bagi anak balita yang dilaporkan telah memunculkan bentuk kekerasan baru yang tersembunyi," ucapnya.
Tak hanya itu, yang cukup memprihatinkan dan wajib menjadi perhatian orang tua ialah, 8 dari 21 anak balita yang tergantung gawai telah menjadikan pornografi sebagai kesenangan atau candu. Anak dengan mudahnya mengakses situs yang berbau pornografi dari berbagai aplikasi dan program seperti Youtube, animasi, serta program aplikasi lainnya.
"Anak-anak dengan mudahnya bisa mengakses tayangan apa saja yang dibutuhkan untuk menjawab kesenangannya," jelasnya.
Untuk memutus mata rantai ketergantungan anak terhadap gawai dan internet, Komnas PA bersama dengan Lembaga Perlindungan Anak (LPA) di seluruh Indonesia meminta peran aktif keluarga, masyarakat, dan pemerintah untuk menyelamatkan anak dari ketergantungan terhadap gawai dan internet.
Caranya, dengan mendorong pemerintah untuk membuat regulasi terhadap aplikasi, dan program media sosial yang tidak mendidik dan dapat mengurangi kualitas hidup anak.
"Orang tua, keluarga dan masyarakat juga dituntut untuk menciptakan dan menjadikan rumah yang ramah dari dampak negatif penggunaan dunia maya dan terbebas dari ketergantungan dan budak media sosial," tutup Arist.