Home
/
Lifestyle

Ganteng Udah, Gaya Kece Parah, Selera Musik Oke Punya, tapi...

Ganteng Udah, Gaya Kece Parah, Selera Musik Oke Punya, tapi...

kawula muda13 June 2017
Bagikan :

Hal yang menggelitik namun krusial dari kencan pertama dengan lawan jenis (dalam kasus saya, laki-laki) adalah saat di mana saya dan si dia saling “melucuti” diri masing-masing: apa sih musik yang kamu banget? Suka film apa? Marvel atau DC? Formal atau kasual? Lebih suka bubur ayam diaduk apa enggak diaduk? Lebih suka WC duduk atau WC jongkok? Dan sebagainya, sebagainya.

Ajang saling "melucuti" ini sangat penting pada kencan pertama. Dari situlah saya bisa mengetahui, apakah si doi layak untuk saya kejar habis-habisan atau disetop sampai di situ saja. Saya adalah hambanya Pierre Bordieu kalau soal referensi budaya pop; taste is a mark of social differentiation. Kurang lebih begitu, lah. Dalam melihat lelaki, dibanding modal duit, saya lebih senang mengagungkan modal budaya pop. Dari selera budaya pop, saya bisa menyimpulkan ia adalah pribadi yang asyik, cerdas, dan berpikiran terbuka. 

Tetapi, ternyata saya harus menyesal kali ini, Bordieu. Kesimpulan saya prematur.

Di usia yang masih labil saat mahasiswa dulu, hal yang saya lihat dari lelaki adalah pilihannya akan hal-hal yang keren, seperti musik, film, dan bacaan. Well, saya tidak mengatakan selera saya keren. Justru, saya kepingin bisa punya partner yang enggak mabok dikasih lihat film-film experimental narrative ala Terrence Malick, tahan berlama-lama dengerin musik indie folk yang membosankan menurut saya, atau sah-sah saja baca Kafka sambil buang air besar plus merenungi eksistensi. Siapa tahu bisa ketularan keren gitu... Atau paling tidak, kami memiliki selera di taraf yang enggak jauh beda, lah, agar dapat mengimbangi obrolan masing-masing.

Singkat kata, saya menjalin perkenalan dengan seorang lelaki, yang pada pengamatan pertama, seusai dengan selera saya. Manis, kece, humoris, dan cerdas. Di suatu Senin yang basah, kami memilih kafe ala-ala Western sebagai tempat kopi darat. He's got really cool taste in fashion. Dan sepertinya, ia pun menunjukkan ketertarikan kepada saya.

Lalu, perbincangan dengan maksud saling “melucuti” itu dimulai.....

Dengan gaya bicaranya yang santai dan oke banget itu, saya terpana selama bermenit-menit, tak bisa lepas lekatan mata ini dari matanya, sambil saling menelanjangi obrolan yang super seru soal banyak hal, termasuk soal referensi pop culture-nya yang saya tunggu-tunggu. Kira-kira, selama satu jam lebih misi saya berhasil untuk mengungkapnya.

"Kalau film, sih, gue suka yang model-model surrealism gitu. Kayak David Lynch gitu."

"Yang klasik macam Luis Bunuel?" timpal saya dengan semangat.

Mata saya berbinar-binar seketika. DIA SUKA DAVID LYNCH DAN LUIS BUNUEL, dan satu nama sutradara Perancis yang baru saya ketahui, Bokanowski something, lah. Setidaknya, saya sudah mengantongi topik-topik seksi di kencan berikutnya: membahas film-film surealis yang super absurd itu, karena kebetulan saya pun menyukainya.

Ah... Kiss me.. kiss me.. kiss me. Saya merapal harapan dalam hati.

Kemudian, untuk urusan musik, dia anak indie alternatif. Tidak hanya musik-musik British atau Amerika, ia pun melahap musik-musik indie negara Eropa lain, plus Asia, Kala itu ia menyebutkan nama-nama band yang asing di kuping saya. Namun, ia juga mumpuni menjelaskan band-band arus utama dari berbagai generasi; dari yang Billboard Top 40 sampai Cocteau Twins.

Anjir.. Marry me, marry me, marry me.... Saya makin ngiler untuk mendalami lelaki itu lebih jauh.

Namun, tiba-tiba negara api menyerang. Obrolan santai kami yang sedang berkutat di tema penulis fiksi favorit diinterupsi oleh satu pertanyaan yang mengubah segalanya.

"Sabtu besok mau ke mana?" tanya si lelaki.

Saya yang sudah hapal dengan agend apribadi di akhir pekan ini, dengan mantap langsung menyebutkan satu aktivitas yang memang ingin saya ikuti dari jauh-jauh hari.

"Gue mau ikut aksi Women's March nih, ikut turun ke jalan."

Yep, di situlah ia mengetahui bahwa saya adalah seorang feminis, atau setidaknya, memiliki concern akan isu-isu feminisme, gatal terhadap dominasi patriarkal, gemes dengan kesetaraan, dan kurang suka melihat pelecehan terhadap perempuan.

Raut wajahnya kini berubah menjadi sedikit lebih asam. "Aktivis perempuan , toh?" Ia tertawa sedikit, dan menurut sepengetahuan saya, tawa itu adalah tawa cemoohan.

"Enggak, sih, cuma concern aja sama isu-isu perempuan, macam-macam kesetaraan gender, lah" kata saya malu-malu. Saya tak berniat untuk tidak membawa obrolan ini lebih lanjut, dan mencari celah agar obrolan feminis-feminisan ini pindah lagi ke topik super seru kami sebelumnya.

"Feminis ya... Hiiiii takuuut.." 

Nah, kan, suasana makin menjadi sesak dan bikin saya tidak betah. Ia seperti melihat saya sebagai perempuan yang begitu membenci kaum laki-laki, dan hendak menyunat penisnya.

Sempat ada kupu-kupu beterbangan di dalam perut saya sebelum obrolan kami shifting kepada topik, yang menurut saya, agak sensitif macam ini. Kupu-kupu itu kini perlahan berhenti mengepakkan sayapnya, tidak lagi seheboh saat membicarakan band post-punk favorit saya.

"Emangnya, apa, sih yang lo perjuangkan? Serius nanya ya!"

"Ya, kesetaraan antara hak perempuan dan laki-laki"

"Jadi, maksud lo perempuan harus kerja berat, nguli bangunan juga gitu tanpa ngeluh?"

Sumpah demi Dewa Zeus di neraka, apa yang ia katakan tidak ada sangkut pautnya dengan apa yang saya maksud pada saat itu. Gak nyambung, Ganteng!

Kemudian, saya menjelaskan kalau kesetaraan yang saya maksud barusan adalah kesetaraan kesempatan untuk meniti karir, tanpa harus dibelenggu oleh dogma patriarki. Tak ada lagi pandangan bahwa perempuan itu kerjanya mengurus anak di rumah, persetan karir. Tak ada lagi pandangan bahwa perempuan pulang malam itu pasti nakal. Tidak ada lagi pandangan bahwa perempuan yang berekspresi dengan pakian yang katanya seksi itu minta diperkosa ramai-ramai.

"Tapi, kan, itu kodrat perempuan, lah, ngurus keluarga, enggak pakai baju terbuka, jangan keseringan pulang malam kalau enggak mau digoda "

Dan berani-beraninya ia berbicara kodrat dengan seorang pegiat perempuan.

"Maksud lo kodrat, apa ya? Jadi, udah kodratnya perempuan untuk dilecehin terus?"

"Dilecehin kayak gimana? Ya, kalau diperkosa karena pulang malem dan pakai baju menggoda, sih, kita enggak bisa nyalahin lakinya juga."

((Kita enggak bisa nyalahin lakinya juga)) ((Kita enggak bisa nyalahin lakinya juga)) ((Kita enggak bisa nyalahin lakinya juga))

Yang diperkosa siapa, yang disalahin siapa.

"Tapi, kan, masalahnya ada di kepala lelaki. Bukan di pakaian wanita. Itu yang harus dibenahi, bagaimana kalian memandang kita objek, submisif, kelas dua."

"Ya, lo sendiri sadar kan kalau masyarakat kita mayoritas otaknya enggak seperti lo. Harusnya cewe-cewe sadar itu, dan mulai menyesuaikan dengan iklim pola pikir mayoritas cowo sini."

Eh, tolo! Lantas, apa gunanya kita cape-cape turun ke jalan, aksi, ngasih sosialisasi sana-sini, bikin kampanye mati-matian supaya viral?

Seketika saya tahu akan ke mana arah pembicaraan ini. Victim blaming. Warisan patriarki yang takkan pernah punah karena di[pelihara dan dipupuk oleh orang-orang macam dia. Saya bisa saja mendebat argumennya pada saat itu, namun entah mengapa saya terlalu lelah. Entah karena apa. Mungkin karena kekecewaan yang lumayan menyakitkan dan bikin gondok. Sudah terbang tinggi ke langitan, dihempaskan secara kencang ke dalam kubangan tahi. Drop shaaayy.....

Akhirnya, saya memilih untuk tertawa kecil super pretensius, kemudian diam. Ia pun terdiam. Suasana sempat bisu selama beberapa detik. Saya mencoba memecah uncomfortable silence itu dengan obrolan ringan lain.

Sontak saya tiba-tiba pikun kalau sebelumnya kami pernah terlibat obrolan hipster kelas menengah dengan gegap gempita modal budaya yang begitu menyilaukan. Saya lupa kalau beberapa menit yang lalu saya jatuh cinta akan khazanah musiknya yang lintas generasi itu. Saya lupa kalau ia juga mengagumi puisi-puisi karya Octavio Paz. Saya lupa kalau ia juga menonton Un Chien Andalaou-nya Bunuel, salah satu film bisu surealis yang sukar dipahami nalar. Semua runtuh hanya dengan satu penemuan yang menggegerkan ekspektasi saya: TERNYATA DIA SEKSIS.

Mungkin saya salah mengartikan teori Bordieu di atas. Selera akan budaya populer tidak mutlak menggambarkan bagaimana cara berpikirnya. Selera budaya pop yang sophisticated dan hipster tak dapat meruntuhkan superioritasnya akan maskulinitas. Seksisme tidak memilih; ia juga hadir di kepala orang-orang yang senang nonton filmnya David Lynch. Dengan gaya pakaian keren dan wajah manis idaman saya itu, shit, saya ketipu. HUEEEEEEEEE :'(

Saya menyudahi kopi darat kamai tanpa gairah. Sepulang dari pertemuan itu, saya blok semua akun messenger dan unfriend media sosialnya. Mumpung kami belum mengenal lebih jauh, saya putus semua kontak dengan dirinya. Sedih, sih. Saya kira saya akan mendapatkan partner yang saya idam-idamkan.

Tapi, syukurlah, saya selamat dari makhluk seksis di dunia ini. Kini, prioritas "melucuti" pribadi laki-laki bukan lagi seputar selera budaya pop-nya, melainkan bagaimana ia memandang perempuan.

populerRelated Article