Uzone.id — Dunia digital yang semakin canggih tentu membuat semuanya menjadi mudah. Mirisnya, kemajuan dunia digital juga menyebabkan angka kejahatan siber melonjak tajam.
Pelecehan secara online menjadi perhatian khusus saat ini. Sebuah penelitian menemukan fakta bahwa hampir 12,6 persen anak-anak di seluruh dunia mengalami pelecehan secara online.Penelitian ini diterbitkan oleh tim dari University of Edinburgh baru-baru ini. Mengutip dari Sky News, Selasa, (04/06), satu dari delapan anak-anak di dunia menjadi korban dari percakapan non-konsensual, penyebaran foto dan video seksual selama 2023 lalu.
Jumlah tersebut setara dengan 302 juta anak-anak di seluruh dunia. Mereka sering mendapat obrolan tak menyenangkan, bahkan percakapan yang meminta mereka melakukan hal-hal tak senonoh.
Selain menjadi korban pelecehan, anak-anak muda ini juga menjadi korban sextortion dimana predator memeras uang korban dengan ancaman akan menyebarkan foto/video mereka.
Survei lain berjudul Into The Light yang diinisiasi oleh lembaga Childlight menemukan fakta lain terkait pelaku pelecehan seksual secara online terhadap anak-anak. Survei imi menemukan 7 persen dari laki-laki di Inggris atau setara 1,8 juta lelaki melakukan pelanggaran online terhadap anak-anak.
Parahnya, para lelaki ini mengaku akan melakukan pelecehan fisik (secara nyata) terhadap anak-anak apabila mereka tak gampang ketahuan.
“Ini berada dalam skala yang mengejutkan, bahkan jika mereka diminta untuk membuat barisan, maka panjangnya akan sama dengan jarak Glasgow ke London,” kata CEO Childlight, Paul Stanfield.
Melihat adanya tindak kejahatan yang menimpa anak-anak ini, Paul meminta semua pihak untuk mengatasi hal ini.
“Kita harus bertindak cepat dan menganggapnya sebagai isu publik yang bisa dicegah. Anak-anak tak bisa menunggu,” kata Paul.
Pelecehan seksual secara online bisa dilakukan para pelaku terhadap anak-anak lewat cara yang tak biasa. Mereka biasanya banyak ‘bersarang’ di obrolan game-game online dan sosial media.
Dr Mark Kavenagh, Konsultan Perlindungan Online Anak dari UNESCO mengatakan bahwa jenis game saat ini dirancang dengan interaksi pengguna. Di game ini, para pemain dirancang untuk terlibat satu sama lain, membentuk pertemanan, berkolaborasi, atau bersaing satu sama lain baik itu lewat suara maupun teks. Sayangnya, fitur ini justru menjadi celah para pelaku kejahatan seksual untuk menargetkan anak-anak.
Mereka menggunakan metode Grooming, metode ini adalah sebuah proses yang melibatkan dan membentuk hubungan dengan anak-anak dengan tujuan mengeksploitasi mereka secara seksual. Pelaku akan mulai membangun percakapan di chat maupun panggilan suara secara perlahan untuk membangun kepercayaan, lalu pada akhirnya anak-anak terbuai lalu menjadi korban dalam tindak pelecehan ini.