Dragon Ball dan Son Goku yang Mengubah Hidup Banyak Orang
Dragon Ball adalah salah satu manga paling digemari di dunia. Karya besutan Akira Toriyama ini mulai muncul di Weekly Shonen Jump dan tankobon [terbitan dalam bentuk monograf] pada 1984. Tak pernah tampak layu, Dragon Ball kemudian diangkat ke dalam anime [Dragon Ball dan Dragon Ball Z], yang ditayangkan di Jepang dari tahun 1986 hingga 1996.
Setelah Jepang, Dragon Ball lantas menghajar belahan dunia lain. Dalam Anime Impact: The Movie and Shows that Change the World of Japanese Animation [2018], Derek Padula, penggemar sekaligus peneliti Dragon Ball, menulis, ”Dragon Ball adalah serial anime dan manga yang paling dikenal di dunia. Di Amerika saja, DVD dan Blu-Ray anime Dragon Ball Z sudah terjual sebanyak 25 juta kopi, membuatnya menjadi anime terlaris di sepanjang masa.”
”Sementara itu, manga Dragon Ball merupakan serial manga terlaris nomor dua di dunia. Ia terjual sebanyak 240 juta kopi di Jepang, dan di luar Jepang, manga itu sudah terjual sebanyak 300 juta kopi," tulis Padula.
Dragon Ball sebetulnya bukan karya pertama Akira Toriyama. Sebelum membuat manga tentang petulangan Son Goku tersebut, ia telah membuat manga terkenal lain berjudul Dr. Slump, yang bercerita tentang doktor jenius yang mampu membuat robot cyborg anak-anak dengan kekuatan super.
Namun, setelah mendapatkan kesuksesan pada awal tahun 80-an, manga itu mentok, dan Toriyama mendapatkan ide segar dari istrinya: sebagai penggemar Drunken Master [Jackie Chan] dan Enter the Dragon [Bruce Lee], mengapa ia tidak membuat manga tentang kungfu?
Setelah itu, kepala Toriyama dibanjiri ide. Setidaknya ada tiga acuan yang kemudian ia gunakan untuk membuat karya terbarunya.
Pertama, seperti ide istrinya, ia akan membuat manga tentang kungfu. Kedua, ia akan mengunakan Journey to The West, kisah legendaris di China, sebagai cetak biru dalam karyanya. Ketiga, ia akan membuat manga kungfu yang tak biasa: sebagai penggemar film science ficition, Toriyama akan memasukkan elemen-elemen yang terdapat dalam film Star Wars, Alien, hingga Terminator, ke dalam karya barunya itu.
Dragon Ball kemudian lahir pada tahun 1984. Dan soal pengaruh besar Star Wars dalam Dragon Ball, Derek Padula menjelaskan dalam bukunya yang berjudu Dragon Soul: 30 Years of Dragon Ball Fandom [2015].
“Toriyama mengunakan desain Luke Skywalker X-34 landspeeder untuk membuat mobil terbang, juga menggunakan desain rumah peternakan Luke untuk membuat rumah kapsul milik Bulma,” tulis Padula.
Semula, ide-ide segar itu memang menjadi salah satu daya pikat Dragon Ball. Namun, daya tarik utama dalam Dragon Ball sejatinya muncul dari tokoh utama bangunan Toriyama: Son Goku. Ia mempunyai karakter kuat, serta tidak seperti tokoh utama lain dalam jagad manga saat itu, ia terus tumbuh dan berkembang beriringan dengan semakin menariknya cerita dalam Dragon Ball.
“Aku mendapatkan tekanan pada saat itu. Mengubah bentuk tokoh utama dalam manga Shonen tampaknya adalah hal sangat tidak dianjurkan, tetapi aku tidak peduli. Jika seri ini akan fokus terhadap pertempuran, aku harus mengubahnya menjadi dewasa. Mereka lantas kaget dengan hasilnya: ‘Serial ini akhirnya menjadi populer, dan sekarang Anda ingin mengubah segalanya!’ Itu adalah reaksi yang akhirnya aku dapatkan,” tutur Toriyama.
Pengaruh Son Goku dalam Dunia Nyata
Saat masih berusia delapan tahun, Deepak Sharman, seorang warga New Delhi, India, selalu marah ketika guru sekolahnya menyuruhnya menggambar. Alasannya, selain tidak suka menggambar, ia juga merasa tidak mempunyai bakat dalam menggambar. Namun, ketika suatu hari ia melihat anime Dragon Ball Z di Cartoon Network, Deepak tiba-tiba berubah: ia mencoba menggambar Goku dan bahagia, karena ia merasa mampu menggambarnya dengan baik.
Deepak Sharman jelas bukan satu-satunya orang yang hidupnya berubah setelah menonton Dragon Ball. Dalam Dragon Soul: 30 Years of Dragon Ball Fandom [2015], Derek Padula setidaknya mengisahkan 80 cerita lainnya mengenai orang-orang yang hidupnya berubah setelah mengenal Dragon Ball. Selain kisah Deepak, ada kisah Justin Rojas, Mike McFarland, hingga Lexi Momo. Mereka berasal dari berbagai macam negara: Spanyol, Jerman, Italia, hingga Belgia.
Dan, sebagian besar mengaku hidup mereka berubah setelah mengenal Goku.
“Goku adalah salah satu karakter dalam Dragon Ball yang paling dicintai serta diketahui oleh para penggemarnya. Ia sangat sederhana, rendah hati, dan sangat baik, meskipun bukan orang yang paling cerdas. Goku mengajariku untuk mengerti apa yang seringkali dianggap enteng oleh orang lain, dengan selalu menjadi diri,” tulis Hisham P, penggemar Dragon Ball dari Oslo, Norwegia.
Toriyama memang menciptakan karakter Goku seperti apa yang dijabarkan Hisham. Tetapi, Hisham lupa akan satu hal penting mengenai Goku; ia tidak hanya sederhana, rendah hati, dan baik, tapi juga tak pernah menyerah. Untuk menjadi petarung yang kuat, ia berkali-kali kalah, bahkan sampai mati dua kali [dihidupkan kembali dengan bola naga]. Namun, dengan semangat juangnya yang tak pernah luntur, Goku selalu berhasil bangkit untuk menjadi lebih hebat daripada sebelumnya.
Karena pengaruh besar Goku dan Dragon Ball tehadap banyak orang, pemerintah Jepang tak luput memberikan apresiasi khusus terhadap Dragon Ball dengan menjadikan Goku sebagai salah satu maskot Olimpiade Tokyo 2020.
Lalu, 9 Mei 2015, tepat hari ini empat tahun lalu, dijadikan sebagai “Goku Day”. Tanggal 9 Mei dipilih dengan alasan sederhana: di Jepang, angka 5 dilafalkan dengan kata “go”, sedangkan angka 9 dilafalkan dengan kata “ku”.
Lantas, karena saking monumentalnya, apakah ada fans Dragon Ball yang keblabasan dalam mengapresiasi karya Akira Toriyama tersebut?
Tentu. Pada tahun 2012 lalu, fans Dragon Ball di Amerika Selatan menciptakan kepercayaan baru yang bernama Gokuisme. Dalam Gokuisme, Dragon Ball dijadikan sebagai panduan hidup, sementara Goku dijadikan sebagai teladan ideal bagi para penganutnya.
Bagaimana, tertarik jadi pengikut sekte Gokuisme?
Baca juga artikel terkait MOZAIK TIRTO atau tulisan menarik lainnya Renalto Setiawan