Data: Rating Acara Mistis Lebih Tinggi dari Bincang-bincang
Unsur mistis yang menjadi bagian dalam acara realita Karma bukanlah sesuatu yang baru di dunia pertelevisian. Suguhan konten horor serupa di televisi telah berlangsung sejak kemunculan Dunia Lain, Mister Tukul Jalan-Jalan, hingga Pemburu Hantu.
Berdasarkan hasil studi Remotivi dalam video Karma di Balik Karma ANTV, kondisi tersebut bermula pada era Orde Baru. Genre horor berkembang pesat di Indonesia setelah meledaknya film Ratu Ular pada 1972.
Menjamurnya film horor kala itu dikatakan turut memicu Kode Etik Badan Sensor Film pada 1980 yang mewajibkan tokoh protagonis religius sebagai sosok penyelamat dalam tayangan horor.
Tayangan-tayangan itu sempat menimbulkan kontroversi karena dianggap menjauhkan masyarakat dari agama ataupun realitas. Meski demikian, unsur mistis di layar kaca tak sepenuhnya hilang.
"Seiring lengsernya Orde Baru, mistisisme menjamur dan hadir dalam berbagai bentuk dari infotainment seperti Silet hingga reality show seperti Dunia Lain," papar narator.
[Gambas:Youtube]
Dalam video itu, Remotivi juga menyatakan, "Perubahan tren ini seakan mengatakan bahwa mistisisme merupakan bagian yang tak bisa dilepaskan dari realitas kehidupan masyarakat Indonesia."
Ini sejalan dengan data perusahaan riset Nielsen yang mengungkap bahwa secara umum acara mistis lebih menarik minat penonton dibandingkan bincang-bincang, seperti Pagi-Pagi Pasti Happy. Dalam periode Maret-April 2018, Pagi-Pagi Pasti Happy ditonton rata-rata 300 sampai 400 ribu penonton setiap kali tayang.
Dalam periode yang sama, Karma disaksikan rata-rata 1,9 juta penonton setiap kali tayang. Sedangkan serial drama turunan dari Karma, yaitu Karma The Series ditonton rata-rata 1,7 juta pemirsa sekali tayang dalam periode yang sama.
Besarnya minat penonton akan acara mistis ini dapat dikatakan bersaing ketat dengan acara yang sudah memiliki basis penonton seperti pertandingan sepak bola.
Dalam data Nielsen periode Maret-April 2018, Karma berada di urutan kedelapan acara televisi yang paling banyak ditonton di Indonesia. Sebagai perbandingan, 50 persen rating televisi dikuasai oleh pertandingan sepak bola dan 30 persen oleh serial drama.
Nielsen menganggap ada sejumlah faktor yang memengaruhi rating sebuah acara televisi, yaitu konten atau durasi program, kompetisi, jadwal tayang, momen insidental, dan faktor kualitatif lainnya. Berdasarkan data Nielsen, dapat disimpulkan bahwa konten mistis masih cukup menarik minat penonton Indonesia, bahkan porsinya bisa dikatakan sejajar dengan hobi atau minat seperti sepak bola.
Durasi turut berperan dalam kesuksesan program. Sepuluh acara dengan penonton terbanyak di Indonesia versi Nielsen diisi oleh acara dengan durasi lebih dari 60 menit, seperti pertandingan sepak bola dengan durasi 90 menit per acara, juga drama yang rata-rata disiarkan selama 60 menit per tayang.
Karma yang mengandung konten mistis sendiri ditayangkan lebih dari 120 menit, sehingga memungkinkan menjaring lebih banyak penonton untuk menyaksikan acara tersebut.
Dengan pertimbangan itu, wajar ketika acara bincang-bincang seperti Pagi-Pagi Pasti Happy yang ditayangkan lebih dari 60 menit menambah konten mistis dengan menghadirkan paranormal Mbah Mijan guna menarik minat penonton untuk melihat acara tersebut.
[Gambas:Youtube]
Namun, keputusan tim produksi itu memiliki tantangan cukup berat. Faktor kompetisi untuk konten mistis kadung dimiliki oleh Karma yang juga ditayangkan nyaris setiap hari, sehingga Pagi-Pagi Pasti Happy butuh dorongan konten dan faktor kualitatif lain yang kuat untuk menyalip Karma.
Data Nielsen mengungkap bahwa Karma memiliki basis penggemar di kalangan masyarakat paruh baya, yakni berusia 50 hingga 54 tahun. Mereka diduga berasal dari kalangan ibu rumah tangga. Hal itu cocok dengan data Nielsen yang juga menunjukkan kecenderungan penonton Karma didominasi oleh kaum hawa.
Golongan produktif yang berusia 20 hingga 34 tahun justru jarang menyaksikan Karma di televisi.
Fakta itu bisa datang dari sejumlah faktor, seperti kesibukan yang membuat tak sempat menonton Karma yang ditayangkan setiap hari pukul 22.00 WIB, sehingga lebih memilih tak menonton, beralih ke YouTube, atau memang kehilangan minat akan acara televisi semacam itu.
Beralihnya minat menonton dari televisi ke acara yang disuguhkan layanan streaming seperti Netflix juga bisa jadi alasan kelompok masyarakat ini minim muncul sebagai penonton Karma.
Serial drama turunan Karma, Karma The Series juga memiliki pola yang sama dengan acara induknya.
Berdasarkan pengelompokan ekonomi, acara Karma dan serialnya lebih menarik minat golongan menengah, baik ke atas maupun ke bawah, serta golongan ekonomi bawah.
Hal ini bisa dipahami sebagai bentuk akibat kategori masyarakat ini masih mengandalkan televisi sebagai medium hiburan mereka.
Golongan masyarakat atas bukan menjadi kelompok penonton Karma. Banyaknya medium hiburan yang bisa dijangkau oleh golongan ini, seperti layanan streaming Netflix atau lainnya, diduga menjadi salah satu faktor pengalih dari Karma yang ditayangkan di televisi dan YouTube.
Kala dihubungi CNNIndonesia.com, Wakil Direktur Remotivi sekaligus penulis naskah video Karma di Balik Karma ANTV Yovantra Arief menuturkan soal alasan acara dengan genre demikian cukup mendapat tempat dan digandrungi.
"Masalah kultur adalah salah satu yang paling dominan. Kultur ini sebenarnya bisa dikembangkan dalam bentuk beda. Namun, televisi dan media butuh yang bombatis dan fenomenal supaya menarik penonton," katanya melalui sambungan telepon.
Kemunculan Karma lantas disebut sebagai pembuka jalan tayangan berbau mistis kembali ke televisi, setelah sebelumnya sempat populer Dunia Lain, Mister Tukul Jalan-Jalan dan sebagainya.
"Itu merupakan dinamika televisi. Hal mistis itu musiman, ada masa laku banget, kemudian mati, ganti lagi dengan hal seperti joget-joget nyanyi. Karma ini pembuka jalan tayangan [dengan unsur mistis] seperti ini balik ke televisi," katanya.