Curhatan Bos XL Axiata Soal Krisis Chip di Ukraina dan Harapan eSIM
Ilustrasi: Andrey Metelev/Unsplash
Uzone.id – Inovasi embedded SIM (eSIM) tak hanya persoalan pembuktian terhadap kemajuan teknologi pada SIM card saja, namun juga menjadi strategi bisnis bagi operator yang sebetulnya menguntungkan perusahaan dan juga pelanggan. Bahkan, kehadiran eSIM diharapkan menjadi solusi dari efisiensi biaya mengingat dunia sedang dilanda krisis chip gara-gara perang Ukraina dan Rusia.
Curhatan menarik datang dari Presiden Direktur XL Axiata, Dian Siswarini saat ia ditanya soal eSIM. XL Axiata menjadi operator terbaru yang meluncurkan teknologi eSIM di Indonesia dan nyatanya perang Ukraina dan Rusia berkaitan dengan adopsi eSIM.“Adopsi eSIM bagi kami adalah menguntungkan karena SIM card fisik itu mahal,” ungkap Dian saat ditemui sejumlah awak media di kediamannya dalam acara Safari Ramadan, Jakarta Selatan, Senin malam (10/4).
Ia melanjutkan, “sebelum ada perang Ukraina dan Rusia, kami beli SIM card itu sekitar Rp1.500-an. Setelah perang, harganya sekarang bisa Rp7.000 sampai Rp8.000 untuk produksinya.”
Dian mengaku baru mengetahui kalau Ukraina dan juga Rusia menjadi negara terbesar yang memproduksi neon, komponen yang digunakan dalam pembuatan chip di seluruh dunia. Dari berbagai sumber, sepertiga dari neon dunia dihasilkan oleh Ukraina dan Rusia.
Bahkan dua perusahaan Ukraina, Ingas dan Cryoin, memproduksi 45 persen hingga 54 persen neon yang digunakan dalam pembuatan chip di seluruh dunia. Neon sendiri diketahui digunakan sebagai bagian dari tahap litografi pembuatan chip.
Berdasarkan analisis Bernstein Research pembuat chip menyumbang 75 persen dari demand global terhadap neon.
Karena dua negara ini perang, maka pasokan chip otomatis terganggu, bahkan para produsen terpaksa harus berhenti memproduksinya sehingga terjadilah krisis chip.
“Ukraina dan Rusia itu yang punya natural resources-nya buat chip, 55 persen dari Ukraina bahkan, jadi begitu perang ya jadi mahal. Saya juga baru tahu dan kaget,” kata Dian.
Ia menyambung, “maka dengan adanya eSIM, tentu akan mengurangi COGS [Cost of Goods Sold] perusahaan untuk kami berjualan.”
Sejak eSIM XL Axiata meluncur pada 20 Maret kemarin, Dian mengaku antusiasme pelanggan melebihi ekspektasi perusahaan. Meski enggan menyebut angkanya, namun ia mengklaim adopsinya terbilang tinggi dari perkiraan.
“Saat ini memang limitasinya terletak pada device smartphone, karena belum semua smartphone mendukung eSIM, padahal yang pengin punya eSIM itu banyak. Jadi pastikan smartphone kalian apa sudah eSIM atau belum, jika sudah, saya sarankan segera migrasi ke eSIM karena pelanggan pun akan mendapatkan pengalaman lebih mulus dibanding SIM card fisik, data lebih aman,” tutup Dian.