Cara Praktis Melatih Kesiagaan Bencana pada Anak
-
Aneka berita gempa dan tsunami di Donggala dan Palu memenuhi media kita. Ini adalah kesempatan yang baik untuk berbicara pada anak dan murid tentang bencana alam.
Ajak anak untuk mempelajari dampak bencana dan memikirkan kebutuhan penyintas bencana, lalu memberi sumbangan pada pihak yang dapat dipercaya.Jelaskan pada anak secara ilmiah tentang bagaimana posisi Indonesia yang tergolong Ring of Fire atau Cincin Api turut memengaruhi jumlah gempa, tsunami, dan letusan gunung berapi di negara ini.
Penjelasan ilmiah seperti ini dapat Anda temukan di berbagai situs, Anda bisa mengajak anak melihat bersama, lalu mengajaknya untuk berlatih menyelamatkan diri ketika mengalami bencana. Apa saja yang dapat dilakukan? Berikut ini beberapa langkah.
Menyiapkan Tas Siaga Bencana Bersama Anak
Ajak anak untuk memikirkan apa saja kebutuhan pribadinya bila ia terpaksa meninggalkan rumah karena bencana alam. Ada banyak panduan, namun pada prinsipnya barang-barang ini hendaknya berisi keperluan pribadi seperti dua set pakaian, obat pribadi, makanan yang mudah dikonsumsi dan lama daya tahannya seperti biskuit kering, juga senter, dan batre.
Ingatlah bahwa tas siaga bencana ini perlu disiapkan bersama anak. Anda bisa membuat tas keluarga, namun bisa juga membuat tas pribadi yang berbeda isinya untuk orang tua dan anak.
Berkeliling Lingkungan Sekitar
Mengitari lingkungan sekitar rumah sambal mengenali potensi bencana sekaligus tempat aman untuk menyelamatkan diri dapat menjadi pilihan kegiatan dengan anak.
Selain rumah dan sekolah, tempat yang secara rutin didatangi anak juga dapat menjadi objek pemetaan. Ingat bahwa diskusi perlu selalu menjadi salah satu metode yang dipakai agar Anda dapat melihat sudut pandang anak dan mengembangkan arah materi sesuai diskusi.
Membuat Prosedur Penyelamatan Diri Bersama Anak dan Melakukan Simulasi
Amatlah penting untuk memahami sudut pandang anak dalam melatih kesiagaan bencana. Hal ini karena anak memiliki ciri perkembangan yang berbeda dari kita, para orang dewasa, baik dari segi fisik, kognitif, maupun sosial-emosi.
Pelibatan anak dalam pembuatan prosedur juga membantu anak melihat keseriusan prosedur ini. Hendaknya, anak dan orang tua juga melakukan uji coba terhadap prosedur yang sudah dibuat ini dengan melakukan simulasi.
Ingatlah bahwa prosedur ini tak harus langsung menjadi prosedur yang baku dalam pembuatan pertama. Simulasi rutin dan dilakukan dengan serius merupakan alat yang baik untuk melihat efektivitas prosedur dan membuat penyesuaian. Pada dasarnya, prosedur tergantung dari situasi lingkungan, namun ada empat larangan yang digunakan baik di Taiwan maupun Jepang, yaitu:
Jangan berlari. Lebih baik bergegas atau bergerak dengan cepat agar tetap bisa melihat segala arah dan tidak saling tabrak. Ini adalah dasar untuk berusaha tidak panik dan tetap tenang ketika berada dalam situasi ramai.
Jangan dorong. Semua orang sedang berusaha menyelamatkan diri, maka tidak ada gunanya memperparah dengan mendorong orang lain. Hal ini justru bisa menambah kemungkinan celaka.
Jangan bersuara. Ini adalah perilaku yang penting untuk dapat mendengarkan instruksi orang lain. Selain itu, ketika kita bergerak sambil bersuara (berteriak), akan menjadi susah untuk berpikir dengan tenang.
Jangan kembali ke lokasi sebelum mendapatkan instruksi. Perlu ada kepastian tentang situasi keamanan sebelum memutuskan kembali ke lokasi awal.
Menggunakan Cara yang Menarik bagi Anak
Keterlibatan penuh anak (fisik, kognitif, dan psikologis) tak bisa dipaksakan. Usahakan menggunakan cara-cara yang menarik dan sesuai dengan tahap perkembangan anak.
Pada anak-anak yang lebih kecil, dongeng dan kegiatan seperti petualangan dan lagu dapat menjadi pilihan. Sedangkan anak-anak lebih besar suka dengan pelibatan lebih banyak dan kesempatan untuk mengekspresikan pendapat.
Berjejaring dan Berkoordinasi
Anak adalah kelompok yang rentan untuk menjadi korban bencana. Maka dari itu, dibutuhkan kerjasama yang baik antara berbagai pihak untuk mengamankan anak. Melibatkan orang-orang terdekat anak seperti keluarga besar dan sekolah perlu dilakukan agar terbangun kesiagaan komunitas.
----------
*catatan: informasi didapat dalam International Conference on School’s Disaster Risk Reduction and Resilience Education In Practice di Taipei, Taiwan. yang diikuti penulis sebagai hasil kerjasama Gerakan Peduli Musik Anak dan Kelompok Riset Kesehatan Mental Komunitas Fakultas Psikologi Universitas Indonesia sebagai bagian dari kegiatan pengabdian masyarakat dengan bantuan dana hibah IPTEKS bagi Masyarakat dari Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat (DRPM) Universitas Indonesia.