Home
/
News

Benarkah Kemunculan Awan Tsunami Merupakan Pertanda Bencana?

Benarkah Kemunculan Awan Tsunami Merupakan Pertanda Bencana?
Deni Septiadi | Peneliti Petir dan Atmosfer BMKG05 January 2019
Bagikan :

Sepanjang tahun 2018, bencana silih berganti melanda Tanah Air tercinta. Tsunami selat Sunda menjadi bencana alam mematikan yang menutup tahun 2018. Berdasarkan data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per 31 Desember 2018, jumlah korban meninggal mencapai 437 orang, 16 orang dilaporkan masih hilang, 14.059 orang lainnya mengalami luka-luka, dan 33.721 orang mengungsi di sejumlah tempat. 

Sampai saat ini, tim SAR gabungan masih terus melakukan pencarian karena belum semua korban ditemukan. Bahkan menjelang pergantian tahun, publik dikejutkan dengan musibah longsor di Kampung Cimapag, Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi. Tercatat korban tewas yang ditemukan berjumlah 15 orang dari total 35 orang yang terindikasi tertimbun longsor.

Rentetan kejadian bencana alam tersebut tentu membuat panik dan khawatir masyarakat. Terlebih lagi viral kemunculan awan berbentuk gelombang tsunami di langit Kota Makassar, Sulawesi Selatan, Selasa sore (1/1/2018). Berkembang berbagai analisa tentang fenomena “awan tsunami” tersebut yang tidak sedikit menghubungkannya dengan bencana yang telah dan akan terjadi, benarkah demikian? 

Awan sebenarnya terdiri dari dua jenis kalau merujuk pada bentuknya, yaitu awan-awan Cumuliform dan Stratiform. Jenis awan badai Cumulonimbus (Cb) yang sering kita dengar termasuk dalam tipikal awan Cumuliform dengan bentuknya menyerupai bunga kol. Sementara itu, tipikal awan Stratiform dicirikan dengan adanya stratifikasi awan atau awan yang berbentuk lembaran atau berlapis.

Jika memperhatikan visual awan yang disebut sebagai “awan tsunami” di langit Kota Makassar, maka dapat diidentifikasi sebenarnya awan tersebut merupakan jenis Cumuliform dengan ketinggian yang rendah (± < 2 kilometer) dan pertumbuhan melebar (horizontal) yang dikenal sebagai “Arcus Cloud’ dengan jenis “Shelf cloud”. 

“Arcus Cloud” itu sendiri merupakan aksesori yang terbentuk dari awan badai Cumulonimbus (Cb). Awan Cb merupakan representasi bentuk sempurna awan konvektif dewasa (mature) yang sangat mudah tumbuh dan berkembang di wilayah Indonesia setelah insolasi optimum (di atas pukul 13.00). 

Di dalam awan Cb, terjadi sirkulasi internal yang sangat kuat akibat aliran udara ke atas (updraft) dan aliran udara ke bawah (downdraft) sehingga memungkinkan awan menjulang secara vertikal menembus troposfer. Namun demikian, dalam kondisi tertentu, partikel presipitasi atau aliran udara dingin yang terbentuk dalam awan Cb bagian atas (top cloud) akan turun seiring aliran udara ke bawah dengan kecepatan terminal akibat gravitasi. 

Partikel presipitasi atau aliran udara dingin tersebut yang keluar menembus dinding awan akan terangkat secara massive oleh aliran udara kuat di luar sistem awan bagian depan (Gust front). Dengan demikian, aliran udara dingin, lembab dan basah akan terangkat membentuk seperti gelombang-gelombang tsunami yang menakutkan dengan panjang beberapa kilometer secara horizontal. 

Tipikal awan-awan Cumuliform merupakan awan dengan pertumbuhan yang cepat dan bengis dengan produknya antara lain angin (baik puting beliung, gust wind atau downburst), petir, dan curah hujan ekstrem atau bahkan hujan es (hail stone). Dengan karakteristik yang demikian, awan tersebut tentu perlu dihindari terutama untuk keperluan take off maupun landing bagi pesawat terbang karena dapat menimbulkan turbulensi yang kuat dan berpotensi tersambar petir. 

Musim hujan DJF (Desember-Januari-Februari) merupakan waktu yang mendukung secara fisis pertumbuhan awan-awan berbentuk Cumuliform. Menyedihkan jika harus selalu belajar dari bencana tapi memang begitulah adanya, bahwa alam selalu menjadi guru terbaik, maka berbaiklah dengannya. Mari tingkatkan kewaspadaan dan tetap menjaga lingkungan.

populerRelated Article