Beda Interseks dan Transgender
-
Prevalensi Interseks di seluruh dunia adalah 1 per 2000 bayi. Dari total populasi dunia, sekitar 1,7 persen adalah mereka. Jika penduduk Bumi dibulatkan 7 miliar, maka total interseks adalah 17 kali lebih banyak dari penduduk Hongkong, atau 25 kali lebih banyak dari jumlah penduduk Singapura. Angka itu membuat interseks bukan peristiwa langka.
Namun, di Indonesia sendiri, istilah tersebut dianggap masih baru, kata Dokter Eni Gustina, Direktur Kesehatan Keluarga dari Kementerian Kesehatan. Tak ada catatan resmi tentang berapa jumlah kasusnya yang terjadi di dalam negeri. “Sejauh ini kita mengikuti (hitungan) prevalensi dari luar (negeri),” tambah Dokter Eni.
Ada istilah kelamin ganda, yang biasa digunakan media untuk menyebut interseks. Di mesin pencari, terbukti “kelamin ganda” mengeluarkan hasil pencarian lebih banyak daripada “interseks”. Totalnya 387 ribu dalam 0,32 detik, didominasi berita-berita yang nadanya menganggap kondisi tersebut sebagai peristiwa langka. Sementara “interseks” cuma 80.900 dalam 0,34 detik.
Peneliti gender Saskia Wieringa, tujuh tahun lalu juga sempat berkesimpulan serupa bahwa media di Indonesia masih belum paham tentang terminologi interseks, dengan menggantinya jadi kelamin ganda. Ia memberi contoh pada kasus Alter, yang sempat jadi berita nasional, yang kemudian di terjemahkan Gaya Nusantara dalam Jurnal Gandrung.
Istilah tersebut dianggap tidak akurat dan salah kaprah. Adhitya Dwi Prananta, seorang interseks yang juga pernah jadi aktivis isu gender, menjelaskan pada saya:
“Kalau emang kelamin ganda, berarti punya dua-dua kelamin binary (biner) yang utuh. Sementara interseks itu sangat variatif bentuknya,” ungkap Adhit.
Dokter Ilene Wong, ahli urologi asal Amerika, membenarkan kalau interseks memang bervariasi. Sebab setiap interseks lahir dengan ciri fisik dan kondisi kesehatan yang berbeda. Tergantung dari kromosom dan kelenjar kelaminnya, yang juga berpengaruh pada variasi bentuk eksternal dan internal alat kelamin.
“Ada puluhan kondisi interseks yang berbeda termasuk hiperplasia adrenal kongenital (CAH), sindrom insensitivitas androgen lengkap (CAIS), dan Sindrom Swyer,” kata dokter Wong kepada saya.
Menurut Adhit, salah kaprah itu disebabkan terbatasnya pengetahuan dan penelitian tentang interseks di Indonesia. Ia sendiri lebih sering dibantu jurnal internasional ketika mencoba memahami interseks. Ia bahkan sempat bergabung dengan forum regional di internet, untuk bisa mengakses informasi-informasi valid. Media juga lebih sering membingkai kasus-kasus interseks sebagai kejadian unik, sehingga memunculkan kesalahan persepsi yang membentuk stereotip. Hal itu yang kemudian membuat orang-orang interseks lebih memilih diam dalam bayang-bayang.
Dalam dunia gender biner—tempat orang-orang hanya mendefinisikan gender menjadi dua saja, laki-laki dan perempuan—interseks sering kali disebut sebagai "gender ketiga" yang menjadi minoritas.
Adhit benar. Menemukan interseks sendiri lumayan sulit di Indonesia. Tak ada organisasi resmi khusus orang-orang interseks. Sejumlah organisasi peduli isu gender yang saya tanyai juga tak bisa menyebut nama. Adhit sendiri sempat bergabung dengan Arus Pelangi, salah organisasi nirlaba yang peduli isu kesetaraan gender, sehingga dikenal kalangan aktivis.
Menurut Caesar Abrisam, anggota Arus Pelangi yang biasa jadi narahubung orang-orang interseks, ada hubungan timbal balik yang terjadi antara terbatasnya pengetahuan tentang interseks dan eksklusivitas mereka yang terlihat menutup diri.
Berdasarkan pengalaman Sam, panggilan akrabnya, kebanyakan interseks yang bertemu dengannya sering salah mendiagnosis diri mereka sebagai transeksual alih-alih interseks. Hal ini karena diskusi seksual yang tertutup di kalangan keluarga-keluarga Indonesia, yang membuat anak-anak interseks juga jadi tertutup.
Handoko (bukan nama sebenarnya), salah seorang kawan interseks Sam yang sempat saya wawancarai adalah contohnya. Sebelum kenal Sam, Handoko mengaku mengira dirinya adalah lesbian, dan berniat melakukan transisi menjadi pria. Namun, setelah disarankan Sam untuk memeriksakan kondisinya—apakah interseks atau tidak—Handoko akhirnya tahu kalau dirinya seorang interseks.
Adhit, sebelum tahu istilah interseks, juga menganggap dirinya seorang transpria. Sehingga mempersiapkan diri untuk melakukan operasi. “Sejak bisa kerja, saya mulai nabung. Karena biayanya (transisi) kan enggak sedikit,” ungkap Adhit.
Padahal menurut Sam, kondisi interseks punya posisi tawar lebih ketimbang kelompok transeksual di Indonesia. “Proses legal dan medical statement-nya pasti lebih mudah daripada teman-teman trans,” ungkap Sam. Proses legal yang dimaksud Sam adalah pengajuan pergantian nama dan identitas di pengadilan. Sementara medical statement adalah dokumen yang dibutuhkan untuk melakukan operasi transisi—misalnya pengangkatan payudara, atau operasi kelamin.
Bagi masyarakat Indonesia yang masih konservatif memandang "gender ketiga" ini, interseks masih lebih mudah diterima, menurut Sam, ketimbang kelompok trans.
Dokter Yenni Yuliana, dari divisi Kesehatan Reproduksi, Kesehatan Keluarga di Kemenkes, mengamini hal tersebut. Ia menambahkan bahwa operasi yang diperbolehkan negara hanyalah untuk orang-orang interseks.
“Kepmenkes itu hanya untuk interseks. Awalnya sih memang tidak jelas ya, apakah transgender juga bisa. Tapi setelah 2003, itu ditetapkan untuk pasien interseks. Jadi untuk transgender tidak bisa. Karena di negara kita, itu belum diakomodir,” ujarnya.
Secara terminologi sendiri, interseks dan transgender sebenarnya punya definisi berbeda. Sederhananya, interseks dapat diidentifikasi langsung dari bentuk eksternal alat seksualnya dan merupakan bawaan lahir. Sementara transgender, adalah kondisi ketika seseorang mengidentifikasi kelaminnya berbeda dengan identifikasi saat lahir. Dalam argumentasi yang masih diperdebatkan, transgender dianggap memiliki disforia gender—keadaan tertekan dan cemas yang dialami seseorang karena ketidaksejalanan gender yang diidentifikasi dirinya dengan organ-organ seksual yang dimiliki.
Sebuah jurnal 2012, sempat menyebut 8,5 sampai 20 persen interseks juga memiliki disforia gender. Kondisi itu yang kemudian membuat, baik transgender maupun interseks ingin melakukan operasi transisi.
Dalam sejarah pergerakannya, interseks akhirnya jug bergabung dalam akronim LGBTIQ karena bersinggungan (intersection) dalam isu “gender ketiga”—yang muncul sebagai anti-tesis dari gender biner.
Menurut Sam, persamaan lainnya adalah bahwa sejumlah interseks—terutama di Indonesia—juga ingin melakukan operasi transisi, yang lebih akrab dijalani kelompok trans.
"Consent" yang Masih Diabaikan Indonesia
Dokter Katherine Baratz-Dalke, yang juga psikolog di Amerika Serikat, mengatakan kalau tak masalah jika seorang interseks ingin melakukan transisi menjadi salah satu gender biner. Namun, keputusan itu haruslah dibuat oleh dirinya sendiri. “Orang harus bebas membuat keputusan yang ingin mereka buat—saat mereka cukup umur untuk membuatnya,” kata Dalke yang juga interseks.Di dunia medis barat, sudah mulai ada kesadaran di kalangan dokter bahwa kelahiran interseks adalah hal alamiah dan bukan sebuah kelainan. Dokter Wong sendiri menyebut penanganan medis pada interseks adalah salah satu kegagalan terbesar pengobatan modern, karena salah kaprah sempat menyebutnya sebagai kelainan.
Sementara sebaliknya, dalam medis Indonesia, interseks masih dianggap sebagai kelainan, disebut dengan istilah DSD—Disorders of Sex Development, kelainan perkembangan seksual.
“Harus dilakukan operasi, arahnya ke mana. Ketika lahir, kita lihat lebih dominannya ke mana: apakah ke perempuan atau laki-laki. Dalam perkembangannya nanti dia akan mengikuti jenis kelamin tersebut,” ungkap Dokter Eni.
Ia menambahkan bahkan pemerintah punya Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes) nomor 191 tahun 1989 yang mengatur operasi penyesuaian kelamin bagi interseks. Operasi masih dijadikan jalan keluar yang disarankan medis. Namun, semua keputusan tetap diberikan oleh orangtua.
Namun, menurut Kyle Knight, peneliti Human Right Watch yang tahun lalu menerbitkan laporan tentang interseks di AS, istilah interseks sendiri sudah lama digunakan dalam perawatan medis. Meski dunia medis kini memang lebih sering menggunakan istilah DSD, yang katanya ofensif dan tidak akurat bagi kelompok interseks sendiri.
Berbalik dengan penjelasan Dokter Eni, temuan Kyle justru menyarankan dokter untuk tidak buru-buru melakukan operasi pada anak-anak interseks. Sering kali, operasi kosmetik tersebut justru berdampak fatal.
“Bisa dimengerti bahwa orang tua, bila diberi pilihan untuk “memperbaiki” anaknya, akan memilih itu. Adalah tanggung jawab pemerintah untuk memperjelas, bahwa operasi ini tak menyelesaikan—dan bahwa anak-anak ini sehat belaka, tak perlu operasi,” tegas Kyle.
Baca juga artikel terkait INTERSEKS atau tulisan menarik lainnya Aulia Adam