Bagaimana Teroris Menyebar Ketakutan Lewat Video dan Media Sosial
Yang bikin aksi teror di Selandia Baru semakin mengerikan adalah bahwa pelaku sempat menyiarkan langsung serangan tersebut di Facebook selama 17 menit. Video brutal ini lantas menyebar dengan cepat di platform media sosial.
Perusahaan-perusahaan teknologi pun dibikin kalang kabut. Facebook, ambil contoh, sebagaimana diwartakan The Guardian, langsung menghapus sekitar 1,5 juta salinan video yang beredar di kanal milik mereka, 24 jam usai aksi teror berlangsung. Langkah serupa juga diambil perusahaan lainnya, dari YouTube, Twitter, hingga Reddit.
“Kami menghormati orang-orang yang terkena dampak dari tragedi ini. Karena itu, kami menghapus semua video, baik yang sudah diedit maupun yang tidak menampilkan konten grafis,” terang Mia Garlick, perwakilan Facebook Selandia Baru.
Sengaja mengunggah video teror di media sosial bukanlah taktik baru yang dipakai para teroris. Mundur beberapa tahun ke belakang, ada ISIS yang getol menyebarkan video berisi aksi kekerasan yang mereka lakukan.
Pada 2014, mereka merilis sebuah video yang memperlihatkan pemenggalan kepala James Foley, jurnalis asal AS yang berkontribusi untuk AFP dan GlobalPost. Video tersebut direkam di padang pasir. Foley terlihat tanpa rambut, mengenakan pakaian berwarna oranye, dan berlutut. Di samping Foley, berdiri anggota ISIS yang nantinya bertindak sebagai eksekutor. Video, mengutip pemberitaan South China Morning Post, “telah diedit dengan gaya profesional.”
Foley tak sendirian. Personel ISIS menunjukan orang kedua, yang diidentifikasi bernama Steven Sotloff, jurnalis lepas untuk TIME, dan memperingatkan bahwa ia bisa menjadi tawanan berikutnya yang dibunuh. Sotloff diculik di dekat perbatasan Suriah-Turki. Lewat video tersebut, ISIS ingin memberi ultimatum kepada Barack Obama, Presiden AS kala itu, untuk membatalkan serangan udara ke Irak.
Video ini seketika bikin tersebar luas di Twitter, menjadi headline di koran-koran di seluruh dunia, dan menggegerkan publik. David Patrikarakos, penulis War in 140 Characters: How Social Media Is Reshaping Conflict in the Twenty-First Century (2017), mengatakan bahwa video itu sengaja dibuat untuk viral agar masyarakat dunia terbiasa dengan aksi kekerasan yang dilakukan ISIS. Di saat bersamaan, video juga dibikin untuk mendorong ISIS lebih brutal lagi dalam beraksi.
Internet tak dapat dipungkiri memudahkan masyarakat untuk beraktivitas. Ini berlaku juga bagi para teroris. Dalam paper berjudul “Terrorism, the Internet and the Social Media Advantage” (2016, PDF), Luke Bertram mengungkapkan ada dua fungsi internet untuk kelompok teroris.
Pertama, ia berfungsi sebagai media komunikasi?mencakup rekrutmen, pendirian forum-forum, berkolaborasi dengan jaringan lainnya, hingga distribusi materi propaganda. Kedua, internet berperan untuk memuluskan operasional kelompok teroris, yang meliputi sabotase infrastruktur di dunia maya sampai mengunggah postingan berbau ancaman. Tujuannya: menyebarluaskan ketakutan.
Agar tujuan “menyebarluaskan ketakutan” berhasil terealisasi, setidaknya ada empat syarat yang harus dipenuhi: konten, pesan, audiens, dan respons. Konten dapat berbentuk video, teks, atau gambar. Sementara untuk pesan bisa berisikan peringatan kepada pemerintah, pemaparan ideologis, hingga prinsip-prinsip yang senantiasa dipegang teguh para pelaku teror.
Kemudian yang ketiga, audiens, para pelaku teror biasanya punya daftarnya sendiri-sendiri. Apakah serangan dimaksudkan untuk membikin masyarakat luas terkejut, atau hanya menyasar kelompok maupun golongan tertentu saja. Ketika faktor ketiga sudah dilakukan, maka tinggal menunggu reaksi audiens: dapatkan serangan membikin masyarakat takut?
Dalam penelitian berjudul “From Minutes to Months: A Rapid Evidence Assessment of the Impact of Media and Social Media During and After Terror Events” (PDF, 2017) yang disusun peneliti dari tim Crime and Security Research Institute Universitas Cardiff, dijelaskan bahwa serangan teroris tak sekadar menciptakan gelombang kejut pada awal insiden?sebab berbagi ruang dengan publikasi di media arus utama dan media sosial?melainkan juga dapat menyebabkan lonjakan kejahatan rasial, ekstremisme, serta desas-desus informasi dan rumor yang merusak pasca-teror.
“Orang-orang hanya tahu apa yang mereka lihat atau baca, sehingga kepanikan media sosial segera?dan kemudian di berita?melanggengkan rumor serta menciptakan ketakutan. Inilah yang diinginkan oleh teroris,” jelas Steven Chermak, profesor dari Universitas Negeri Michigan yang juga berkontribusi dalam laporan tersebut.
“Berita soal teror yang bertahan selama hari-hari, bahkan berminggu-minggu?disertai opini di media sosial?dapat melanjutkan siklus teror.”
Kekerasan teroris, pada dasarnya, didesain untuk menimbulkan reaksi yang kuat di masyarakat. Mengabaikan mekanisme pengendalian situasi usai teror, tegas penelitian tersebut, hanya akan melemahkan kerja-kerja kontra-terorisme yang sedang ditempuh.
Hanya Satu Kata: Lawan!
Motivasi pelaku teror, selain menghabisi mereka yang dianggap tak sepaham, ialah untuk menyebarkan histeria di tengah masyarakat. Guna mewujudkan hal tersebut, pelaku teror, sekali lagi, membutuhkan media, baik media berita maupun sosial. Ketika serangan teror membikin masyarakat turut mendistribusikan kengerian itu ke mana-mana, maka tujuan teroris bisa dikata berhasil.
Untuk menangkal ketakutan itu, perusahaan teknologi tetaplah berada di garda terdepan. Mereka menjadi tameng yang melindungi para pengguna (masyarakat) agar tak termakan propaganda yang ditebarkan pelaku teror lewat, misalnya, video-video brutal.
Upaya guna menyingkirkan konten-konten teror muncul pada 2017. Kala itu, mengutip The Conversation, Google, Facebook, Twitter, dan Microsoft membentuk Forum Internet Global untuk Menangkal Terorisme (GIFCT). Tujuan dari forum ini adalah untuk menghalau benih-benih ketakutan yang ditimbulkan oleh aksi teror di layanan mereka.
Dalam kinerjanya, GIFCT mengandalkan sepasang senjata: mesin kecerdasan buatan (AI) dan bank data hash. Kerja-kerja mesin AI mencakup pencocokan gambar. Ini mencegah pengguna mengunggah foto atau video yang cocok dengan foto serta video lain yang sebelumnya telah diidentifikasi sebagai teroris. Berkat mesin AI, YouTube, ambil contoh, berhasil menghapus 98 persen video yang berafiliasi dengan aksi terorisme.
Sedangkan hash sendiri merupakan sidik jari digital yang dapat dipakai untuk melacak aktivitas pengguna di dunia daring. Kerja hash kira-kira seperti ini: saat ada konten teror yang dihapus oleh anggota GIFCT, hash-nya akan dibagikan dengan perusahaan lainnya. Tujuannya yaitu agar perusahaan dapat langsung memblokir konten teror jika teroris berupaya mengunggahnya di platform yang lain. GIFTC mengumpulkan sekitar 88 ribu hash.
Operasi GIFTC berandil cukup signifikan dalam membatasi aktivitas teroris di media sosial. Twitter, ambil contoh, telah menangguhkan hampir satu juta akun karena dinilai mempromosikan terorisme. Sementara YouTube sudah menghapus 150 ribu video dengan konten terorisme.
Tapi, upaya GIFTC tak selalu mulus. Dalam perkembangannya, algoritma mereka tidak 100 persen berhasil mengidentifikasi akun-akun dengan konten terorisme. Beberapa konten yang tidak berafiliasi dengan aksi teror, turut kena blokir.
Langkah lain yang bisa diambil, sebagaimana tercatat dalam artikel di Wired berjudul “Think Before You Tweet in the Wake of an Attack,” yaitu dengan melakukan publikasi maupun pemberitaan yang tepat tentang aksi teror. Media-media arus utama dituntut untuk memproduksi liputan yang kredibel dan tidak menambah kepanikan publik.
Liputan yang tidak tepat bisa jadi mampu mendorong munculnya serangan-serangan di masa mendatang, di samping dapat pula mengancam nasib korban yang selamat. Masyarakat juga diminta tidak panik dan asal menyebarkan foto maupun video yang hanya memperkeruh situasi.
Baca juga artikel terkait SERANGAN SELANDIA BARU atau tulisan menarik lainnya Faisal Irfani