Awal Mula TikTok Dikecam hingga Sidang Panas CEO vs DPR Amerika Serikat
Uzone.id — TikTok terus menjadi bahan perbincangan setelah sang CEO, Shou Zi Chew dipanggil dan duduk di ‘kursi panas’ sidang kongres parlemen AS selama kurang lebih 6 jam pada hari Kamis (27/03) waktu setempat.
Konflik antara China dan Amerika Serikat sudah memanas semenjak bertahun-tahun lalu, kehadiran aplikasi TikTok ternyata membuat hubungan dua negara besar ini semakin runyam.Dari yang awalnya hanya aplikasi hiburan, kini justru membuat dua negara memanas dan bahkan dipanggil di sidang kongres parlemen Amerika Serikat.
Awal mula TikTok dipanggil pemerintah AS
Amerika Serikat menuduh Induk TikTok, ByteDance membagikan akses data penggunanya dengan pemerintah China. Tuduhan ini sudah berlangsung bahkan ketika TikTok booming di kalangan warganet dunia.
Hal ini muncul pada tahun 2017, dimana adanya UU China yang meminta para perusahaan untuk memberikan data personal yang berkaitan dengan keamanan nasional negara.
Dengan adanya UU ini, pemerintah AS melarang penggunaan TikTok karena pemerintah China dituduh bisa mengakses data pengguna seperti data histori pencarian dan juga lokasi pengguna.
Namun, tak ada bukti yang membenarkan ketakutan tersebut dan hanya berbasis dari tuduhan yang disampaikan oleh FBI dan Federasi Komunikasi AS.
Isu ini terus berlanjut dan puncaknya, isu tersebut memanas setelah karyawan ByteDance ketahuan mengakses data dari 4 jurnalis Amerika Serikat lewat akun TikTok mereka. Hal ini terjadi pada akhir Desember 2022 lalu.
Beberapa jurnalis yang ditargetkan adalah mantan reporter BuzzFeed Emily Baker-White, reporter Financial Times Cristina Criddle, dan 2 jurnalis lainnya.
Data-data itu diakses untuk melacak pergerakan fisik para jurnalis, dan kebenaran kabar ini sudah dikonfirmasi oleh pihak perusahaan. Pelakunya adalah kepala auditor internal perusahaan Chris Lepitak dan manajer yang berbasis di China.
Motifnya adalah untuk mengetahui apakah para jurnalis ini berada di lokasi yang sama dengan karyawan mereka yang dituduh membocorkan informasi rahasia.
Dari yang awalnya hanya tuduhan, kejadian ini menjadi bukti dan semakin meyakinan pemerintah AS untuk mengesahkan UU pelarangan pegawai pemerintah untuk mengunduh serta menggunakan TikTok di perangkat perusahaan.
Concern lain yang membuat TikTok semakin disudutkan adalah adanya konten yang membahayakan mental remaja dan adanya konten challenge ‘mematikan’ yang mengancam nyawa anak-anak remaja.
AS minta pejabat hapus aplikasi TikTok
Dengan pertimbangan-pertimbangan ini, pada akhir Februari 2023 lalu, Gedung Putih memberikan perintah bagi para pejabat untuk menghapus aplikasi TikTok dari berbagai perangkat pemerintah.
Titah ini pun telah dilakukan oleh para anggota parlemen, pejabat Gedung Putih, anggota tentara US, sekolah, universitas serta hampir negara bagian turut mengikuti titah dari pemerintah pusat untuk melarang akses ke TikTok.
Selain AS, negara yang bergabung ke European Union juga telah melakukan hal yang sama, disusul oleh Denmark dan Kanada.
Pada pertengahan Maret 2023, Presiden AS, Joe Biden mengancam akan memblokir secara permanen TikTok apabila mereka tidak berpisah dengan pemiliknya yang berbasis di China.
Solusi yang diberikan adalah dengan cara menjual TikTok ke investor AS dan ‘lepas’ dari China. Jalan keluar ini tidak diterima oleh China, dan lebih memilih untuk diblokir saja dari negeri Paman Sam.
CEO TikTok dipanggil dan ikut rapat kongres Parlemen AS
Di hari Kamis (23/3) waktu setempat, CEO TikTok, Shou Zi Chew, kemudian dipanggil untuk bergabung dalam agenda rapat anggota Parlemen AS.
Mereka ingin mendengarkan bagaimana TikTok menjalankan keamanannya dan melindungi data pengguna, khususnya 150 juta pengguna yang berbasis di AS.
Dalam kongres ini, sang CEO dicecar berbagai pertanyaan hingga kurang lebih 6 jam.
Beberapa poin penting yang dibahas dalam agenda ‘kursi panas’ ini adalah:
- Hubungan Pemerintah China dan Induk TikTok
Para anggota parlemen fokus akan hubungan ByteDance selaku induk TikTok beserta para eksekutifnya yang diklaim memiliki hubungan dengan Partai Komunis China.
Mereka bertanya seberapa sering Chew berhubungan dengan Pemerintah China dan bertanya soal Project Texas yang menawarkan perlindungan terhadap UU China yang mengharuskan perusahaan membuka akses data pengguna untuk pemerintah.
Chew juga ditanya apakah TikTok merupakan aplikasi China atau bukan? Dan Chew menjawab dengan tegas kalau TikTok bersifat global, bahkan tidak tersedia di China daratan, dan berkantor pusat di Singapura dan Los Angeles.
Tak sampai disitu, Chew bahkan dicecar dengan tuduhan ByteDance yang telah memata-matai warga Amerika setelah beberapa waktu lalu kepergok mengakses informasi jurnalis AS dalam upaya untuk mengidentifikasi karyawan mana yang membocorkan informasi.
Chew pun menjawab, "memata-matai bukanlah cara yang tepat untuk mendeskripsikannya.”
- Keamanan remaja dan kesehatan mental jadi sorotan
Fokus lainnya adalah keamanan para pengguna berusia muda yang menjadi sorotan.
Anggota parlemen mengutip laporan bahwa konten terkait narkoba telah menyebar di TikTok yang memungkinkan remaja membeli zat berbahaya dengan mudah secara online.
Namun, Chew mengatakan kalau konten semacam itu melanggar kebijakan TikTok dan akan dihapus saat teridentifikasi.
“Kami menganggap ini sangat serius,” kata Chew.
“Ini adalah tantangan di seluruh industri, dan kami berinvestasi sebanyak yang kami bisa. Kami tak mengatakan hal tersebut mewakili pengalaman sebagian besar pengguna TikTok, tetapi itu memang terjadi,” tambahnya.
Konten berbahaya lainnya yang disebutkan anggota parlemen adalah konten menyakiti diri sendiri dan gangguan makan, yang telah menyebar di platform, challenge mematikan juga banyak viral di aplikasi.
- Pro Kontra Project Texas yang Menjadi Solusi TikTok
Selain untuk membahas keamanan data pengguna, pertemuan ini juga untuk mengamankan rencana TikTok untuk menjalankan Project Texas yang merupakan solusi mengamankan data TikTok menggunakan Oracle.
Oracle sendiri merupakan perusahaan asal Amerika Serikat yang menyediakan layanan cloud dan online hosting.
Untuk meredam kekhawatiran pemerintah dan masyarakat AS soal keamanan data mereka dari bayang-bayang pengaruh China, TikTok berjanji untuk memindahkan data pengguna AS ke server domestik AS melalui upaya ‘Project Texas’ ini.
Dengan project ini, data-data pengguna TikTok yang berbasis di Amerika Serikat akan disimpan dan dipantau oleh platform yang berbasis di AS, begitupun di-manage oleh pekerja yang berasal dari AS dengan nama ‘TikTok U.S. Data Security’.
TikTok mengklaim kalau mengalihkan data pengguna ke Oracle dan memantau data oleh entitas AS dapat menjamin dan melindungi informasi pengguna.
Namun, usulan rencana ini mendapat penolakan dari anggota parlemen. Anggota kongres Jay Obernolte dari Republik California mengatakan kalau Proyek texas ini tidak memiliki kemampuan teknis untuk menjamin apa yang mereka inginkan (perlindungan dan keamanan data pengguna).
Sementara itu, Frank Pallone dari Republik mengatakan kalau projek tersebut tidak dapat diterima oleh mereka.
Sementara itu, nama project ini juga dikritik oleh anggota parlemen perwakilan Texas, August Pfluger yang meminta TikTok untuk mengganti nama tersebut.
“TikTok adalah ancaman bagi keamanan negara dan individu dan harus secepat mungkin diblokir,” ujarnya.
- Pembelaan CEO TikTok: Sanggah Tegas dan Sebut TikTok Mirip Aplikasi Buatan AS
“Izinkan saya mengatakan ini dengan tegas: ByteDance bukan agen China atau negara lain mana pun,” kata Chew dalam kesaksiannya.
Ia mengatakan kalau praktik privasi TikTok sama dengan platform media sosial lainnya yang berbasis di Amerika Serikat. Ia juga mengklaim kalau dalam beberapa kasus pihaknya mengumpulkan lebih sedikit data daripada rekan-rekannya.
“Kami berkomitmen untuk sangat transparan dengan pengguna kami tentang apa yang kami kumpulkan,” kata Chew.
“Saya yakin apa yang kami kumpulkan tidak lebih dari kebanyakan pemain di industri ini lakukan,” tambahnya.
Ia juga mengatakan, “ada lebih dari 150 juta orang Amerika yang menyukai platform kami, dan kami tahu bahwa kami memiliki tanggung jawab untuk melindungi mereka.”