Home
/
Digilife

Apa Itu Hilal dan Rukyat? Dipakai Muhammadiyah dan NU Tentukan Bulan Puasa

Apa Itu Hilal dan Rukyat? Dipakai Muhammadiyah dan NU Tentukan Bulan Puasa

Tomy Tresnady13 April 2021
Bagikan :

Ilustrasi (Foto: Haseesh Rahithya / Unsplash)

Uzone.id - Kementerian Agama sebagai lembaga yang memiliki otoritas untuk menetapkan awal puasa di bulan Ramadan biasanya melakukan sidang itsbat dengah dihadiri oleh para ulama, ilmuwan, pakar hisab-rukyat, dan perwakilan dari berbagai organisasi massa yang ada di Indonesia.

Namun, kadang ada kelompok yang tidak mengikuti hasil sidang itsbat dengan alasan mereka telah memiliki metode penetapan sendiri.

Terdapat metode-metode yang dipakai oleh para ulama untuk menetapkan awal bulan Ramadan.

Pertama, mayoritas ulama dari madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali menyatakan bahwa awal bulan Ramadan hanya bisa ditetapkan dengan menggunakan metode rukyat (observasi/mengamati hilal) atau istikmal, yaitu menyempurnakan bulan Syaban menjadi 30 hari.

Mereka berpegangan pada firman Allah dan Hadits Nabi. Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 185:

“Maka barangsiapa di antara kalian menyaksikan bulan maka hendaklah ia berpuasa (pada) nya.”

“Berpuasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah kalian karena melihatnya. Jika kalian terhalang (dari melihatnya) maka sempurnakanlah bilangan Sya’ban menjadi tiga puluh hari.” (HR. Bukhari, hadits no. 1776).

Pada ayat dan hadits di atas, Allah dan Rasul-Nya mengkaitkan kewajiban berpuasa dengan melihat hilal.

BACA JUGA: Ini Dampak Pembangunan Bukit Algoritma Sukabumi, Silicon Valley-nya Indonesia

Artinya, kewajiban berpuasa hanya bisa ditetapkan dengan melihat hilal atau menyempurnakan bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari.

Kedua, sebagian ulama, meliputi Ibnu Suraij, Taqiyyuddin al-Subki, Mutharrif bin Abdullah dan Muhammad bin Muqatil, menyatakan bahwa awal puasa dapat ditetapkan dengan metode hisab (perhitungan untuk menentukan posisi hilal).

Mereka berpedoman pada firman Allah subhanahu wa ta’ala dan Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah berfirman dalam surat Yunus ayat 5:

“Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya, dan Dialah yang menetapkan tempat-tempat orbitnya, agar kamu mengetahui bilangan tahun, dan perhitungan (waktu).”

Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Jika kalian melihat hilal (hilal Ramadhan) maka berpuasalah, dan jika kalian melihatnya (hilal Syawwal) maka berbukalah. Jika kalian terhalang (dari melihatnya) maka perkirakanlah ia.”

Ayat di atas menerangkan bahwa tujuan penciptaan sinar matahari dan cahaya bulan serta penetapan tempat orbit keduanya adalah agar manusia mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu.

Artinya, Allah SWT mensyariatkan kepada manusia agar menggunakan hisab dalam menentukan awal dan akhir bulan Hijriyah. Sedangkan poin utama dari hadits di atas adalah kata “Faqdurû lah”.

Menurut mereka, arti kata tersebut adalah perkirakanlah dengan menggunakan hitungan (hisab). Dari kedua pendapat di atas, tampaknya pendapat kelompok pertama yang menyatakan bahwa awal Ramadan hanya bisa ditetapkan dengan rukyat dan istikmal merupakan pendapat yang sangat kuat, karena dalil-dalil yang mereka kemukakan sangat jelas dan tegas menyatakan hal tersebut.

Akan tetapi, seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi terutama dalam bidang ilmu astronomi, peran hisab sangatlah mendesak dalam mendukung hasil rukyat.

Apalagi, hisab yang didukung dengan alat modern memiliki akurasi yang sangat tinggi.

Dalam konteks negara Indonesia, terdapat beberapa kriteria penetapan awal Ramadan, di antaranya:

1. Imkanur Rukyat (visibilitas hilal) adalah mempertimbangkan kemungkinan terlihatnya hilal. Kriteria ini mengharuskan hilal berada minimal 2 derajat di atas ufuk, sehingga memungkinkan untuk dilihat.

Akan tetapi, adanya hilal belum teranggap sampai hilal tersebut dapat dilihat dengan mata. Kriteria ini digunakan oleh NU sebagai pendukung proses pelaksanaan rukyat yang berkualitas.

2. Ujudul Hilal adalah kriteria penentuan awal bulan Ramadan dengan menggunakan dua prinsip: Ijtimak (Konjungsi) telah terjadi sebelum Matahari terbenam, dan bulan terbenam setelah matahari terbenam.

Jika kedua kriteria tersebut terpenuhi maka pada petang hari tersebut dapat dinyatakan sebagai awal bulan. Kriteria ini digunakan oleh Muhammadiyah.

3. Imkanur Rukyat MABIMS adalah penentuan awal bulan Ramadan yang ditetapkan berdasarkan musyawarah Menteri-menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia dan Singapura (MABIMS).

Menurut kriteria ini, awal bulan Hijriyah terjadi jika saat matahari terbenam, ketinggian Bulan di atas horison tidak kurang dari 2 derajat dan jarak lengkung Bulan-Matahari (sudut elongasi) tidak kurang dari 3 derajat, dan ketika terbenam, usia bulan tidak kurang dari 8 jam setelah ijtimak atai konjungsi.

4. Rukyat Global adalah kriteria penentuan awal bulan Ramadan yang menganut prinsip bahwa jika satu penduduk negeri melihat hilal, maka penduduk seluruh negeri berpuasa.

Kriteria ini digunakan sebagian muslim Indonesia dengan merujuk langsung pada Negara Arab Saudi atau menggunakan hasil terlihatnya hilal dari Negara lain.

Dengan adanya metode dan kriteria penetapan awal Ramadhan yang sangat variatif, tidak mengherankan jika terjadi perbedaan dalam memulai puasa Ramadhan.

Hanya saja, penting kiranya untuk berusaha menyatukan perbedaan-perbedaan tersebut, mengingat bahwa amaliah di bulan Ramadhan dan lebaran di bulan Syawal merupakan syi’ar Islam dan momen kebahagiaan yang layaknya dilaksanakan dan dinikmati bersama-sama.

Pemerintah melalui Kementerian Agama memiliki peran sentral dalam menyatukan perbedaan dimaksud, yaitu dengan menyelenggarakan sidang Itsbat awal Ramadhan yang didasarkan pada rukyat, dan hisab sebagai pendukung. (NU Online)

populerRelated Article