Angel Has Fallen: "Mimpi Basah" Gerard Butler yang Kering
“Nyaris seperti Logan buat (series) Wolverine, begitulah Angel Has Fallen buat dua film sebelumnya,” kata Gerard Butler pada Cinema Blend.
Aktor utama sekaligus salah satu produser Angel Has Fallen ini rupanya punya harapan besar pada sekuel terbaru Has Fallen. Konon, film terakhir ini akan jadi penutup Olympus Has Fallen (2013) dan London Has Fallen (2016) sehingga Butler ingin memberi Mike Banning—karakter utama yang diperankannya—sebuah perlakuan khusus.
Apan itu artinya Banning tiba-tiba punya kekuatan mutan seperti Logan? Atau bernasib buruk, mati di ujung cerita?
Plotnya tak serta-merta berubah sedrastis itu. Banning tetap jadi paspampres, dan seperti biasa berusaha melindungi presiden dari serangan terorisme. Tapi, kali ini presiden yang dilindunginya sudah beda. Allan Trumbull (Morgan Freeman) yang sebeluumnya Ketua House of Representative, lalu jadi wakil presiden, di film ini naik pangkat jadi Presiden Amerika Serikat. Kabarnya Aaron Eckhart—yang memerankan Presiden AS sebelumnya—menolak kembali karena jadwal syuting yang bentrok.
Perbedaan lainnya, tugas Banning sedikit berubah di film ini. Melindungi presiden dari serangan terorisme cuma terjadi di awal-awal babak pertama. Selanjutnya ia dituduh mendalangi percobaan pembunuhan terhadap Presiden Trumbull dan kematian 18 orang paspampres lainnya dalam sebuah serangan bom drone. Walhasil, ia harus melindungi diri sendiri dari kejaran FBI dan teroris sebenarnya.
Jadi, tak ada lagi gedung-gedung bersejarah—Gedung Putih, Westminster Abbey—yang runtuh. Adegan penyerangan teroris yang bombastis meluluhlantahkan Washington DC dan London di dua film sebelumnya diganti dengan serangan drone di sebuah danau di pinggir hutan. Jelas ini pilihan visual yang berbeda meski tetap dengan efek CGI yang jelek.
Lantas apa yang bikin Angel Has Fallen terasa mirip Logan (2017)—film terakhir Hugh Jackman sebagai Wolverine yang mendapat kritik bagus itu?
Ternyata yang dimaksud mirip Logan adalah atmosfer depresif yang coba ia terapkan pada Angel Has Fallen. Gerard ingin film ketiga ini fokus pada pergolakan batin Banning sebagai prajurit senja. Ia ingin menonjolkan sensitivitas karakter ini. Maka, sutradara Ric Roman Waugh fokus menciptakan plot yang bikin Banning lebih manusiawi, dan rentan—meski tetap susah mati, setelah dibantai adegan tabrakan mobil dengan pohon, ikut jatuh dalam truk yang terbalik, dan berkali-kali selamat dari baku tembak.
Pelik? Waugh sepertinya tak peduli.
Di awal-awal film, Banning dibikin betul-betul rentan. Ia sering disergap nyeri dan pusing sebagai dampak pekerjaannya sebagai veteran militer. Banning sering mengalami susah konsentrasi dan nyaris tak bisa hidup tanpa obat pembunuh nyeri. Beberapa kali ia coba konsultasi ke psikiater. Namun, ia memilih merahasiakan masalah itu dari semua orang, termasuk istrinya sendiri. Adegan-adegan itu cukup depresif dan gelap. Ada isu traumatis dan post-traumatic disorder (PTSD) pada veteran militer yang coba ditonjolkan Angel Has Fallen.
Kamera Waugh membingkai Banning dari dekat sekali, bahkan masuk di ruang-ruang privat seperti rumah, kamar, dan ruang konsultasi psikiater.
Bisa jadi kita mulai bersimpati pada Banning—sesuatu yang jelas tidak mungkin kita rasakan dari dua film sebelumnya. Waugh yang juga masuk di dek penulis bahkan menambahkan karakter bayi Lynn, anak Banning, dan sebuah adegan berbincang di meja makan, lengkap dengan dialog receh yang sebetulnya tak apa jika dihilangkan. Tapi, mereka jadi penting buat Waugh, agar penonton bisa lebih bersimpati.
Sayangnya, semua aksesoris itu tak bertenaga—Banning tetap terasa jauh.
Mungkin karena semua terasa seperti tempelan yang berjalan terburu-buru. Film lalu kembali fokus pada adegan-adegan laga yang ingin menunjukkan betapa heroiknya Banning.
Setelah berhasil melewati beberapa kali adegan mematikan, di tengah film kita kembali diingatkan tentang bahaya perang lewat karakter Clay Banning (Nick Nolte), ayah Mike Banning yang selama ini bersembunyi dari pemerintah AS. Ia adalah bekas prajurit militer yang terlibat kasus, lalu melarikan diri ke gunung untuk bersembunyi.
Clay adalah kontras yang ditampilkan Waugh untuk menunjukkan betapa depresifnya kehidupan para veteran, yang seumur hidupnya melihat perang, mayat, kematian kawan sendiri, dan kadang harus melepaskan keluarga sendiri agar tak ikut-ikutan stres.
Perang terhadap trauma itu betul-betul jadi fokus utama Waugh. Beberapa kali mata kamera menangkap ekspresi para prajurit FBI yang berkeringat menanti serangan musuh, wajah ketakutan mereka ketika melihat kepala kawannya sendiri ditembus peluru. Bahkan adegan tarung terakhir sengaja dipersiapkan Waugh di depan ruangan Trauma Center di sebuah rumah sakit—sebagai metafora pesan yang ingin ia pertebal.
Sayangnya, Angel Has Fallen adalah tontonan yang melulu depresif dengan kualitas sandiwara yang kurang meyakinkan. Sehingga rasanya seperti dipaksa bersimpati, alih-alih hanyut sendiri dan terbawa dalam perspektif para karakternya. Situasi kebalikan yang muncul ketika menonton Logan.
Meski atmosfer depresif juga kental terasa di Logan, tapi naskahnya sangat fokus pada pengembangan karakter. Motivasi mereka jelas. Tak ada yang betul-betul hitam, dan putih, termasuk Logan sendiri. Dan yang paling penting, mereka tak melupakan humor—sesuatu yang bisa dipakai untuk menarik simpati penonton. Sayangnya, kita tak mendapatkan itu dalam Angel Has Fallen.
Butler ingin menjadikan film ini penutup manis buat dua film sebelumnya. Ujung-ujungnya, Angel Has Fallen hanya jadi mimpi basahnya sendiri yang depresif dan kering.
Baca juga artikel terkait MISBAR atau tulisan menarik lainnya Aulia Adam