Analisis Brasil vs Belgia: Daya-daya yang Mematahkan Tarian Samba
Tak ada lagi utusan Amerika Selatan pada perhelatan Piala Dunia 2018 kali ini. Wakil mereka satu-satunya, Brasil, dipaksa angkat kaki setelah kalah 1-2 dari Belgia, Sabtu (7/7/2018) dini hari WIB di Kazan Arena.
Perombakan susunan pemain yang dilakukan Roberto Martinez cukup menarik perhatian. Marouane Fellaini yang biasanya diturunkan sebagai 'perusak' di pengujung laga, kini bermain sejak awal. Ia diduetkan dengan Axel Witsel di area tengah.Secara harfiah, Fellaini benar-benar merusak sayap kiri yang jadi titik terkuat Brasil. Memang tuahnya perlahan hilang di pengujung pertandingan, tetapi Fellaini sangat efektif dalam memanfaatkan posturnya untuk menutup ruang tembak para pemain lawan. Sebagai gambaran, ia dan Witsel telah melakukan 9 blok bila dikalkulasi.
Lebih dari itu, dengan kehadiran Fellaini sebagai gelandang tengah, Martinez bisa leluasa mendorong Kevin De Bruyne untuk bermain lebih ke depan. Bahkan, bisa dibilang ia mengemban peran sebagai false nine. Romelu Lukaku ditempatkan di sayap kiri dan Eden Hazard di tepi sebaliknya.
Baru kali ini De Bruyne diberikan hak untuk tampil ofensif, sebab pendulang assist terbanyak Premier League musim lalu itu cenderung bermain lebih dalam melihat skema yang dicanangkan Martinez pada laga-laga sebelumnya. Keputusan mantan pelatih Wigan Athletic itu tak terlepas dari absennya Casemiro sang tukang jagal area tengah Brasil. Dan hal tersebut yang jadi salah satu faktor kegagalan Brasil kali ini.
Seperti yang kami ulas dalam artikel sebelumnya, cemerlangnya 'Tim Samba' tak bisa dilepaskan dari intensitas Casemiro dalam menghentikan serangan lawan. Ia menjadi pemain yang paling aktif melancarkan tekel dengan rata-rata 4,3 per laga, disusul catatan intersepnya yang menyentuh 1,5.
Masalahnya, Fernandinho yang diplot untuk menggantikan posisinya tak cukup andal dalam memenangi duel. Oke, eks pemain Shakhtar Donetsk ini memang distributor bola yang ulung, tetapi ia tak seenergik Casemiro dalam menghentikan gempuran musuh. Satu tekel sukses dari enam percobaan cukup merepresentasikan betapa buruknya Fernandinho dalam mengatasi bola-bola bawah.
Gol yang dicetak De Bruyne cukup menggambarkan betapa kehilangannya Brasil akan sosok Casemiro. Lukaku dengan mudahnya berhasil menembus sektor sentral mereka sebelum melepaskan umpan yang diakhiri dengan tendangan jarak jauh De Bruyne. Ironisnya, Fernandinho yang harusnya menjaga kedalaman justru berada out of position dalam situasi tersebut.
Berbicara tentang moncernya performa Lukaku, terkait erat dengan kejelian Martinez dalam memanfaatkan postur kekarnya untuk menembus barikade Brasil. Bukan sebagai pemantul, melainkan sebagai pengantar bola dari tengah ke depan. Itulah mengapa Lukaku sering terlihat menjemput bola ke tengah, ketimbang Eden Hazard yang intens menunggu di tepi sayap kiri.
Eits, tunggu dulu, bukan berarti Hazard bermain buruk. Pergerakan statisnya di tepi kiri berhasil meminimalkan alokasi serangan Brasil di sisi yang sama.
Kendati minim dalam melancarkan tembakan dan umpan kunci, Hazard berhasil mencatatkan persentese 100% dribel sukses dalam 10 percobaannya. Lagi pula, winger yang pernah dianugerahi terbaik Ligue 1 itu tak perlu sibuk-sibuk melepaskan umpan kunci jika peran itu sudah ada De Bruyne, bukan?
Sebenarnya reaksi yang dilakukan oleh Tite di babak kedua cukup tepat. Ia menambal segi postur dan kekuatan fisik yang jadi kelemahan anak asuhnya.
Tak ada pemain dengan tipikal target-man di garda terdepan mereka. Neymar, Philippe Coutinho, dan Gabriel Jesus, cukup cair, tetapi barisan pertahanan Belgia padat dan kuat. So, dibutuhkan figur yang unggul secara postur untuk menembusnya.
Itulah yang jadi dasar Tite memasukkan Roberto Firmino dan menarik keluar Willian. Penyerang Liverpool itu satu-satunya striker yang powerful yang mereka punya, meski bukan seorang target-man murni.
Di sisi lain, Willian juga gagal muncul sebagai alternatif seperti pada laga kontra Meksiko sebelumnya. Lebih-lebih, ia tak mampu melakukan satu pun dribel sukses pada laga kali ini.
Masuknya Douglas Costa yang menggantikan Gabriel Jesus cukup membuat sayap-sayap Brasil kembali hidup. Tak hanya dari manuvernya, winger Juventus itu juga berhasil melepaskan tiga tembakan tepat sasaran, setara dengan Neymar yang notabene tampil sebagai starter.
Well, kebuntuan Brasil kali ini memang terikat erat dengan buruknya penampilan Neymar. Ia cuma mampu melepaskan sebiji tembakan tepat sasaran dan delapan kali kehilangan penguasaan bola. Hal yang lumrah dihadapi Brasil pada laga-laga sebelumnya. Pasalnya, Neymar memang jadi sasaran penggawa lawan untuk mematikan nyawa permainan Brasil.
Bedanya, kali ini Coutinho dan Willian yang jadi opsi lainnya juga ikut-ikutan tersendat pendarnya. Willian tak bisa leluasa melancarkan dribel, sedangkan ruang tembak Coutinho juga berhasil ditutup.
Paulinho yang bisa mengemban tugas untuk muncul dari lini kedua juga terlalu sibuk untuk membantu Fernandinho menjaga kedalaman. Ya, satu-satunya gol yang dicetak Brasil berasal dari Renato Augusto yang masuk di babak kedua, setelah memanfaatkan umpan lambung dari Coutinho.
Kemenangan Belgia merupakan buah dari kejelian Martinez dalam memanfaatkan pincangnya Brasil yang minus Casemiro. Selain itu, The Red Devils juga sukses mematikan senjata Brasil beserta opsi-opsinya. Ya, dengan kekuatan fisik yang dimiliki para pemainnya.