Home
/
News

Alasan Sulitnya Pemerintah Menagih Pajak Google

Alasan Sulitnya Pemerintah Menagih Pajak Google

TEMPO.CO21 December 2016
Bagikan :

Pemerintah kesulitan menagih pajak dari Google Asia Pacific Pte. Ltd. Menurut Menteri Telekomunikasi dan Informasi Rudiantara hal ini sulit dilakukan karena belum aturan soal soal pajak bisnis dunia maya.

Sedangkan hal tersebut beririsan dengan Undang-undang Ketentuan Umum Perpajakan yang mewajibkan semua badan usaha yang berpenghasilan di Tanah Air bayar pajak. Karena itu jalan tengah seperti negoisasi, ujar Rudi, merupakan solusi yang tepat.

Baca: Sri Mulyani: Penghitungan Pajak Google Selesai Akhir Tahun

Selain itu, Rudi mengatakan tak mungkin menindak keras Google seperti mencabut bisnisnya. Musababnya, layanan yang ditawarkan Google amat berguna bagi masyarakat. “Guru-guru cari bahan pelajaran dari Google, sedangkan kalau kita mau bikin mesin pencarian baru sendiri masanya sudah lewat,” kata Rudi.

Ditjen Pajak menghitung pada 2015 penghasilan Google bisa mencapai Rp 6 triliun dengan penalti sebesar Rp 3 triliun. Karena itu Ditjen Pajak bersedia memberikan keringanan tarif di angka Rp 1-2 triliun. Namun, kepada Tempo beberapa waktu lalu, salah satu pejabat Google Asia Pacific mengatakan total tagihan pajak Google seharusnya cuma Rp 337,5 miliar— Rp 405 miliar

Baca: Setelah Google, Ditjen Pajak Incar Facebook

Bila tetap emoh membayar pajak ke pemerintah, Google terancam membayar denda sebesar 400 persen. Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Khusus Muhammad Haniv mengatakan pemerintah memberi waktu selama satu bulan, sejak Januari 2017. "Kalau tetap tak memberi laporan keuangan, akan didenda 400 persen karena masuk dalam tahap investigasi," ujar Haniv, Selasa, 20 Desember 2016.

Kesepakatan negosiasi pajak (settlement) antara Direktorat Jenderal Pajak dengan Google Asia Pacific Pte. Ltd menemui jalan buntu. Google, kata Haniv, tetap emoh membayar pajak. “Kalau begitu proses akan kita lanjutkan kembali pemeriksaan bukti permulaan,” kata Haniv di kantornya, Selasa, 21 Desember 2016.

Haniv mengatakan penolakan itu terjadi pekan lalu. Kala itu, petinggi Google Asia Pasific menemuinya langsung di kantor pusat Ditjen Pajak. Lantaran negoisasi mentok, Ditjen Pajak meminta Google untuk memberikan laporan keuangannya agar bisa segera diproses melalui tarif pidana pajak biasa dengan denda 150 persen.

Meski menemui jalan buntu, Haniv tak menampik bila peluang settlement dengan Google masih terbuka lebar. Sebab Google kerap melakukan lobi ke para eksekutif bahkan ke Presiden Joko Widodo.

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis Yustinus Prastowo mengatakan apabila kasus Google dilimpahkan ke pengadilan pajak, minimnya landasan hukum justru akan membuat Google terbebas. Menurutnya, jalur negoisasi akan lebih bijaksana, jika ingin mendapatkan raihan pajak lebih tinggi. “Tidak ada daerah abu-abu dalam hukum,” ujarnya.

ANDI IBNU

Berita Terkait:

populerRelated Article