4 Tren Teknologi yang Bakal ‘Meledak’, Gak Cuma Metaverse!
Ilustrasi/Unsplash
Uzone.id – Konsep metaverse sedang heboh di mana-mana. Metaverse menyajikan dunia virtual yang pada dasarnya mengambil konsep atau kehidupan yang ada di dunia nyata seperti sekarang, dan kemudian itu semua dihadirkan ke alam virtual tersebut.
Makanya nggak heran kalau banyak yang bilang kalau kita bisa berbuat apa saja di dalam metaverse seperti halnya di dunia nyata atau fisik seperti sekarang, seperti beli tanah, investasi, hingga traveling dari satu tempat ke tempat lain.Tapi, tren teknologi yang akan besar dan berdampak besar di masa yang akan datang nyatanya tak hanya metaverse saja.
Perusahaan layanan teknologi dan konsultasi Accenture memaparkan setidaknya ada 4 tren teknologi yang diprediksi akan 'meledak' cepat atau lambat dan semakin nyata di depan mata.
1. WebMe (Web3 dan Metaverse)
Dari penjelasan Managing Director CIE Practice Lead Accenture Indonesia, Johannes Kolibonso, pada dasarnya tren metaverse ini nggak hanya layak diperhatikan oleh individu, tapi juga korporasi.
“Setidaknya dunia virtual yang dekat dengan kita belakangan ini –apalagi sejak pandemi– adalah game hingga kultur rapat virtual. Spektrum ide ini sangat mungkin menghasilkan kehidupan virtual murni yang dicampur dengan dunia nyata nantinya,” ungkap Johannes kepada beberapa awak media baru-baru ini.
Baca juga: Potensi Metaverse di Kalangan Gen Z
Perkembangan internet setelah Web2 adalah generasi Web3 yang akan disokong oleh metaverse.
“Internet is being reimagined di WebMe atau Metaverse ini. 55 persen eksekutif di Indonesia percaya kalau metaverse akan membawa dampak positif di organisasi mereka sebagai terobosan baru. Data flow di Web3 akan terdistribusi, artinya data ownership akan berada di tangan kita — tak lagi centralised,” sambung Johannes.
Use case dari WebMe yang dijabarkan Johannes adalah Nikeland di game Roblox dan platform TraceHarvest yang dimanfaatkan untuk memantau benih saat ditanam hingga waktu panen.
2. Programmable World
Meski terdengar agak horor —dunia yang serba diprogram atau disetting— tapi Johannes menekankan implementasi yang sebenarnya sudah perlahan hadir di kehidupan kita.
Ia menyebut teknologi Augmented Reality (AR). Bukan sekadar produk mentereng Google Glass yang bahkan ironisnya gagal, Johannes menyebut kacamata AR (AR glass) dari INMO (The Irish Nurses and Midwives Organisation).
“Kalau kita benar-benar mengerti pemanfaatan teknologinya, AR Glass INMO ini hadir untuk upgrade sektor kesehatan. Bayangkan, ada suster yang harus mengecek obat untuk pasien, memperhatikan kandungan dan lain-lain, itu bisa takes time. Tapi dengan AR Glasses, semua informasi bisa langsung mereka dapatkan dari lensa. Efisien dan advanced,” kata Johannes.
Selain AR Glasses, Johannes juga memberikan contoh mesin jahit otomasi yang dapat menyulam bahan mentah menjadi pakaian tanpa sisa (one piece).
3. The Unreal (Making Synthetic, Authentic)
Poin satu ini cukup menarik, karena garis besarnya “membuat yang sintetis/buatan menjadi terotentikasi”, alias valid atau sah.
Menurut pandangan Managing Director Applied Intelligence Lead Accenture Indonesia, Budiono, tren ini bisa dibilang dimulai dari hadirnya teknologi chatbot, di mana bot yang diprogram manusia dapat menanggapi user (yang juga manusia).
Ke depannya, chatbot ini menurut Budiono, dapat berevolusi menjadi robot AI di metaverse. Tak hanya memprediksi pertanyaan-pertanyaan user, namun menjalin interaksi yang tak kalah ‘nyata’ dengan dunia fisik.
“Nanti proses KYI [Know Your Customer] di metaverse juga akan direvolusi, karena namanya juga dunia virtual, wajah kita bisa ditiru atau bahkan banyak yang menyamar. Ini bakal jadi celah untuk otentikasi user di dalam tren The Unreal ini,” kata Budiono.
Ia menyambung, “mungkin ke depannya perangkat VR untuk Metaverse seperti Oculus bisa menghadirkan pengenalan retina [iris scanner] untuk otentikasi tersebut.”
Budiono kemudian memberikan beberapa case study, di antaranya Yumi yang dikenal sebagai autonomous animated digital influencer dari brand skincare SK-II. Yumi hadir sebagai solusi perusahaan untuk memasarkan produk baru secara lebih efektif karena dapat memangkas waktu syuting.
Selain itu, ada juga AI news presenter dari kantor berita Xinhua di China yang membawakan berita-berita panas dari seluruh dunia selama 24 jam.
4. Computing the Impossible
Meski serba teknis, tren satu ini pada dasarnya diyakini bakal ‘meledak’ karena munculnya mesin-mesin baru yang mendorong organisasi di semua industri memperluas cakupan jenis pekerjaan yang dapat diselesaikan oleh komputer.
Teknologi seperti quantum computing dan biology-inspired computing dipercaya sanggup menjadi solusi dari masalah yang menelan banyak biaya alias mahal, tidak efisien, atau bahkan mustahil untuk dikerjakan oleh komputer tradisional.
“Quantum computing singkatnya dapat memproses data jumlah banyak tapi energinya sedikit, sehingga teknologi ini juga mengarah ke sustainability,” kata Managing Director Head of Technology Lead Accenture Indonesia, Retno Kusumawati.
Ia memberi contoh Cambridge-1 Supercomputer yang dikembangkan NVIDIA. Supercomputer ini dibekali algoritma yang sangat canggih untuk mengumpulkan data. Salah satu case study-nya adalah Supercomputer ini dimanfaatkan untuk membuat obat agar lebih tepat sasaran.
“Internet lambat laun bukan cuma tempat untuk browsing,” tutup Retno.